Fenomena klitih bukan hal yang baru di Daerah Istimewa Yogyakarta. Klitih pernah menjadi momok yang menakutkan bagi warga Kota Gudeg antara tahun 2005-2011. Perkelahian antar remaja SMA dengan tangan kosong hingga menggunakan senjata tumpul dan tajam pernah begitu mengancam daerah ini. Motifnya pun memang tidak jauh dari kenakalan remaja, yaitu permusuhan antar SMA yang kemudian berujung pada perkelahian di jalanan.
Dari mulai perkelahian remaja yang didasari kenakalan, klitih pernah berkembang menjadi sebuah kejahatan serius. Pelaku klitih diketahui pernah melakukan tindakan perampokan dan penganiayaan bersenjata di malam hari. Korban yang ditarget umumnya adalah orang yang berjalan atau berkendara di jalanan pada malam yang sepi. Â Ada beberapa insiden klitih yang pernah cukup menjadi perhatian warga saat itu:
Pertama, kejadian di daerah sekitar Jalan Monjali pada pukul lima pagi. Korban adalah seorang perempuan (mengendarai motor) dijambret tasnya oleh dua orang pemuda (yang juga mengendarai motor). Beruntung, perempuan itu berani mengejar, menabrak motor pelaku, dan akhirnya pelaku tertangkap.
Kedua, pembacokan yang dilakukan sekelompok orang di Jalan Kapten Pierre Tendean. Korban selamat namun mendapatkan puluhan jahitan. Ketiga, pembacokan terjadi di dekat Mirota Kampus UGM. Korban tewas yang diketahui merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM atas nama Dwi Ramadhani Herlangga. Kejadian tersebut terjadi sekitar saat jam sahur.
Selain membahas perilaku kenakalan remaja yang berujung pada kejahatan serius ini, muncul lagi satu pertanyaan penting: bagaimana mewujudkan Yogyakarta sebagai daerah yang aman? Seperti apa keamanan yang telah dan harus ditingkatkan oleh aparat terkait? Dan bagaimana harusnya warga berpartisipasi?
Harus diakui, kondisi keamanan Yogyakarta yang rawan menjadi pekerjaan rumah besar bagi Polda DIY. Mobil polisi sempat sering terlihat di beberapa titik rawan jalan-jalan Yogyakarta. Namun, keberadaan patroli tersebut pun umumnya hanya ada di bawah jam 12 malam. Setelah jam tersebut, jalanan Yogyakarta masih relatif lengang.
Cara lain yang bisa ditempuh Polda DIY sebenarnya bisa lebih bersifat preventif ketimbang menindaklanjuti kejahatan yang terjadi. Polisi dapat turun ke sekolah-sekolah tempat biasanya pelaku klitih berada. Dengan bekerjasama dengan pihak sekolah, polisi bisa memberikan penyuluhan langsung untuk mempersuasi para calon pelaku klitih yang tidak tampak, untuk tidak menjadi klitih sama sekali.
Kendati polisi sudah berusaha, warga pun juga tetap punya andil untuk menjaga keamanan kota. Memberlakukan kegiatan siskamling bisa dilakukan di daerah sub-urban kota tempat biasanya klitih rawan memulai aksinya. Warga juga perlu awas dengan perilaku remaja tertentu yang kelihatannya mencurigakan.
Pada akhirnya, keamanan dan ketenteraman Yogyakarta menjadi tanggungjawab bersama warga, masyarakat, aparat, dan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah memegang peran sentral penting sebagai pengayom.
Nilai mengayomi ini kebetulan juga diadopsi oleh seorang calon anggota DPD RI dapil DIY, Bambang Soepijanto. Pria yang dulu menjabat sebagai Dirjen Planologi dan Kehutanan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini memang mengusung dirinya sebagai "DPDnya Wong Cilik". Klaim ini bukan main-main, karena dalam kampanyenya, Bambang Soepijanto yang juga menjabat sebagai Ketua Umum APKINDO (Asosiasi Panel Kayu Indonesia) ini memakai jargon "Ngayomi, Ngayem, Ngayani".
Barangkali semangat seperti inilah yang kira-kira diperlukan oleh Yogyakarta dewasa ini. Sesosok pemimpin yang bisa mengayomi rakyatnya.