Menenun adalah kegiatan yang sudah mendarah daging  di Desa Sumberarum, tepatnya Dusun Sejatidesa. Desa yang terletak di Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman ini terkenal sebagai tempat pengrajin kain tenun stagen tradisional.  Hampir semua perempuan di dusun ini sudah menggeluti kerajinan tenun sejak kecil. Tradisi ini diwariskan secara kekeluargaan dari ibu ke anak, dari generasi ke generasi. Hampir semua rumah memiliki sebuah alat tenun yang dipakai bertahun-tahun.
Ketika para pria desa pergi ke sawah untuk bertani, para istri menjaga rumah, merawat anak, dan menenun untuk ikut menafkahi keluarga. Nantinya, sang ibu akan mengajari anak perempuannya menenun. Sang anak perempuan kelak akan meneruskan tradisi itu hingga ia besar dan berkeluarga, hingga ia mengajarkan anak perempuannya hal serupa.
Tenun yang diproduksi adalah kain tenun stagen. Stagen memiliki ciri khas bentuknya yang memanjang horizontal sampai puluhan meter dengan lebar sekitar 14-16 cm. Kain ini ditenun dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang sepenuhnya bertenaga manusia. Tenun stagen yang dibuat berwarna hitam dan terbuat dari benang yang keras.
Maka itu, nilai jual tenun stagen hitam ini pun sangat murah. Hanya sekitar dua ribu rupiah per meter. Sehingga satu gulung tenun stagen dengan panjang puluhan meter hanya dibeli dengan harga 40-60 ribu. Padahal untuk menenunnya sendiri perlu beberapa hari.
Pada tahun 2013, Dusun Sumberarum didatangi oleh komunitas pemberdayaan sosial bernama Dreamdelion, yang beranggotakan mahasiswa-mahasiswa UGM. Komunitas ini mengajak perempuan-perempuan penenun Sumberarum untuk mulai membuat tenun dengan kombinasi warna-warna yang menarik. Harapannya, inovasi tenun berwarna-warni ini dapat memiliki nilai tambah yang lebih baik dan dijual lebih mahal. Selain itu, tenun berwarna ini juga diolah menjadi beragam kerajinan tangan dan aksesoris yang menarik dan moderen.
Sejak itulah, mulai muncul kain tenun stagen berwarna-warni. Warna ini didapat dengan menyusun ratusan benang vertikal yang membentuk kain tenun tersebut menjadi beragam pola motif warna tertentu. Kain stagen ini pun jadi sangat cantik untuk dibeli sebagai suvenir atau diolah menjadi barang kerajinan lain.
Bersama Lawe, Dreamdelion mengadakan pelatihan kerajinan bagi perempuan-perempuan penenun untuk mengolah kain tenun stagen menjadi sepatu, tas, dompet, tas laptop, pouch, strap jam tangan, dan lain sebagainya.
Untuk memasarkannya, Dreamdelion mengadakan pameran tenun di Bentara Budaya Yogyakarta dan Jakarta. Dalam pameran tersebut, pengunjung tidak sekedar dapat membeli tenun kreasi penenun, tapi juga diperkenalkan tentang identitas tenun sebagai kain ciri khas budaya Indonesia selain batik.Â
Perempuan-perempuan penenun dari Sumberarum pun turut hadir membawa alat tenun dan mempertunjukkan kebolehan mereka menenun di pameran tersebut.
Untuk menguatkan ikatan antar penenun, perempuan-perempuan penenun di dusun Sumberarum berinisiatif mendirikan kelompok usaha bersama dengan prinsip koperasi.Â
Tujuannya, agar proses penjualan tenun dapat dipusatkan di koperasi dan para penenun dapat bertukar pikiran dan mengembangkan kreativitas kerajinan tenun bersama. Penenun cukup menjual tenunnya ke koperasi, dan koperasi menjualnya ke masyarakat umum atau turis yang berkunjung ke desa. Koperasi juga dapat menerima pemesanan tenun atau kerajinan tenun yang nantinya dikerjakan oleh penenun yang ada.
Sejak tahun 2015, Koperasi "Pelangi Sejati" pun didirikan oleh perempuan penenun Dusun Sumberarum. Anggota yang bergabung berjumlah 22 orang dari sekitar total 50 penenun aktif yang ada di dusun ini. Meski tidak berjumlah banyak, namun koperasi ini berkomitmen menjalankan organisasinya.
Pertama-tama, koperasi membeli tenun stagen ataupun kerajinan tangan olahan tenun yang dibuat oleh perempuan-perempuan penenun anggotanya sendiri. Produk tenun tersebut kemudian dipajang di etalase koperasi dan ditawarkan pada turis yang datang. Untuk meningkatkan jumlah turis, perempuan-perempuan penenun membentuk Pokdarwis alias Kelompok Sadar Wisata.
Kelompok ini mengadakan acara festival apresiasi tenun bertajuk "Pasar Tenun Rakyat" yang dihadiri oleh berbagai kalangan dari dalam dan luar kota. Festival tersebut diadakan sekurang-kurangnya setahun sekali.Â
Festival ini terdiri dari berbagai macam rangkaian acara, seperti pertunjukkan gamelan, pameran kain tenun, lokakarya pembuatan tenun bersama, hingga penanaman pohon di pinggir kali Progo.
Pokdarwis pun menyambut dengan membuka paket wisata lokakarya tenun dengan minimal 10 peserta. Biayanya pun cukup murah, hanya 100 ribu per orang, sudah dapat berlokakarya belajar membuat tenun seharian dan makan siang.
Lambat-laun, usaha Koperasi Pelangi Sejati dan Pokdarwis ini terus berkembang pesat dan diketahui banyak orang. Pengunjung berdatangan untuk datang melihat-lihat tenun yang dipajang di etalase koperasi. Ada pula pihak luar yang memesan tenun secara khusus, dengan pola warna tertentu, dan memesan dalam jumlah banyak.Â
Tidak hanya tenun stagen, produk olahannya seperti tas dan dompet juga dipesan secara khusus dalam jumlah besar. Praktis, Dusun Sumberarum pun kini dikenal sebagai desa wisata tenun.
Geliat usaha perempuan penenun ini pun menjadi berkah sendiri bagi warga Sumberarum. Pemuda desa bisa ikut bekerja menyediakan fasilitas dan pra-sarana ketika festival Pasar Tenun Rakyat diadakan. Warga bisa berjualan di sekitar lokasi festival juga. Bahkan seniman lokal juga bisa punya panggung untuk menunjukan kebolehan bermain gamelan.
Tanpa harus ada embel-embel feminisme, desa ini telah menjadi progresif yang mana ekonominya dipicu oleh ekonomi kreatif perempuan penenun. Warga yang umumnya hanya bertani, beternak, dan menambang pasir di pesisir kali Progo, kini punya pekerjaan tambahan menyokong aktivitas penjualan dan wisata tenun Sumberarum.
Kita semua tahu, dalam masyarakat kita ini, kesetaraan gender masih jadi sesuatu yang sulit digapai. Perempuan masih dianggap sepantasnya berada di wilayah domestik saja, biarkan laki-laki yang tampil di ruang publik untuk mencari rezeki dan memimpin. Namun, cara pikir seperti itu pun mulai bergeser.
Kesetaraan gender ini juga diakui oleh tokoh berpengaruh seperti Bambang Soepijanto. Pria yang menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) ini juga pernah punya pengalaman menarik seputar kesetaraan gender.
Dulu, Bambang Soepijanto menjabat sebagai petugas penghijauan di Desa Kepek Paliyan, Gunungkidul. Ia mempersunting wanita dari Magelang, yang sama-sama pernah kuliah di Yogyakarta. Awalnya Bambang Soepijanto mengajak istrinya untuk ikut bersamanya, saat itu Bambang Soepijanto berada di golongan 2 Petugas Lapangan, sementara istrinya Golongan 3 Hakim.Â
Pimpinan istrinya pun berkata pada Bambang: "SK anda Pinpro, SK dia (calon istri Bambang Soepijanto) Presiden, secara logika hukum anda yang harus ikut calon istri anda."
Kini, Bambang Soepijanto memutuskan maju sebagai DPD RI untuk dapil DIY. Dengan semangat "ngayomi, ngayemi, dan ngayani", beliau bertekad untuk menjadi pemimpin yang melayani wong cilik.
Dengan cara memberi perlindungan pada rakyat, memberi ketenangan bagi rakyat, dan bertanggungjawab pada rakyat atas amanah yang ia emban. Semua itu siap dilakukan Bambang Soepijanto dengan keyakinan kesetaraan gender yang ia alami sendiri. Bahwa perempuan, khususnya perempuan Yogyakarta, adalah perempuan hebat yang sanggup berkarya dan berprestasi dalam bidangnya masing-masing.