"Ya enak, di kuburan itu sepi," katanya nyeleneh
Penampilan Jemek kadang merupakan sebuah aksi protes. Pada tahun 1997, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tidak menyertakan pantomim sebagai rangkaian agendanya. Otomatis ia tidak diundang, tidak pula pemain pantomim lainnya. Kecewa berat, ia pun menggelar penampilannya sendiri di Jalan Malioboro. Pertunjukan itu berjudul Pak Jemek Pamit Pensiun. Dengan tegas Jemek menunjukkan kekecewaannya dengan keberadaan pantomim yang tidak dianggap.
Terakhir, ada makna yang cukup menarik dari pertunjukkan Jemek yang berjudul Tukang Cukur. Kali ini, Jemek menceritakan tentang kebosanan yang dialami seorang pemangkas rambut. Alkisah, seorang tukang cukur jalanan bersedih karena sepi pelanggan. Ia membuka lapak di bawah pohon, lengkap dengan perabotan cukurnya.
Berhari-hari tidak ada orang yang datang untuk cukur. Kadangkala ada yang datang menghampiri, tapi hanya untuk pinjam sisir. Si tukang cukur pun terus menunggu, namun tetap tidak ada yang datang. Ternyata nasib yang sama juga dialami temannya yang juga tukang cukur. Karena sama-sama jenuh, akhirnya mereka berdua sepakat untuk saling mencukur satu sama lain.
Ironis, nampaknya Jemek bernasib sama seperti tukang cukur yang sepi pelanggan itu. Undangan untuk memintanya tampil berpantomim tidak pernah ramai. Begitulah, ia tahu kehidupan seniman memang bukan jalan hidup yang bergelimang harta. Termasuk teater, yang tidak sepopuler musik, apalagi pantomim, yang hanya salah satu cabang teater.
Padahal, pantomim menjadi pilihan hidup sekaligus sarana Jemek mencari nafkah. Sekali tampil ia dibayar lima ratus ribu hingga satu juta. Bila ramai, Jemek dapat tampil sekali atau dua kali sebulan, sementara di hari biasa jelas kurang dari itu. "Beberapa bulan tidak tampil sudah biasa," ujarnya santai.
Jemek sering duduk sendirian tengah malam di depan rumahnya. Bila beruntung, akan datang orang yang mencari peti mati, padahal toko-toko telah tutup. Jemek pun datang menawarkan bantuan. Toko-toko yang dimiliki tetangganya itu lantas ia ketuk satu per satu. Tetangga penjual peti mati itu pun keluar rumah dan niaga dilakukan. Bila transaksi berhasil, ia mendapat komisi atas jasanya.
Itulah Jemek, pantomimer yang menyambi jadi makelar peti mati demi menyambung hidup.
Yogyakarta sepatutnya bersyukut memiliki seorang Jemek Supardi. Tidak setiap hari ada seniman yang mau berdedikasi melestarikan bentuk seni yang sudah langka. Apalagi, dedikasi tersebut diberikan Jemek selama lebih dari tiga puluh tahun. Sebagai kota dengan kekayaan budaya, Yogyakarta telah memberikan sumbangan kebudayaan yang luar biasa bagi Indonesia, bahkan dunia. Sangat penting bagi pemerintah, baik daerah maupun pusat, untuk melestarikan kekayaan ini. Meminjam visi dari Pak Bambang Soepijanto, calon DPD RI dari dapil DIY, sudah seharusnya kita menjaga budaya Yogyakarta sebagai World Heritage.