Mohon tunggu...
Hamzah Zhafiri
Hamzah Zhafiri Mohon Tunggu... Kreator konten -

Suka menulis dan bercerita sebagai hobi. Terutama tema politik, bisnis, investasi, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jemek Supardi, Bapak Pantomim Indonesia dari Yogyakarta

29 November 2018   09:33 Diperbarui: 29 November 2018   22:04 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun seperti halnya saat di sekolah dulu, ia merasa tidak betah dengan lingkungan kelompok teater ini. Maka, di tahun 1976 ia hijrah ke Teater Dinasti pimpinan Fajar Suharno.

Namun, Perjalanan Jemek sebagai seniman acap kali tidak mulus, bahkan dia tidak sepenuhnya berhasil menjadi pemain teater. Jemek kesulitan menghafal naskah, hal ini lantas kerap menyulitkan lawan mainnya. Alhasil peran yang ia mainkan hanya tokoh sampingan, bahkan hanya pekerja belakang panggung. Konon, ia pernah menjadi pemain belakang panggung bersama Seno Gumira Ajidarma, orang yang akan menjadi cerpenis terkemuka kelak.

Sadar akan kelemahan ini, Jemek mencari jalan lain untuk mengekspresikan jiwa seninya. Ia tertarik dengan pantomim, salah satu cabang dalam dunia teater. Pantomim memungkinkan Jemek untuk berekspresi dengan gerak tubuh dan mimik wajah, tanpa naskah dialog sama sekali.

Ia pun terinspirasi saat melihat penampilan Marcel Mercau, pemain pantomim Perancis yang pernah tampil di Yogyakarta. Maka pada tahun 1980, Jemek mantap memilih berpantomim. Di tahun 1981, ia tampil dengan beberapa penampilan karangannya, seperti Arwah Pak Wangso, Jakarta-Jakarta, Tukang Cukur, dan sebagainya.

Selalu ada makna di tiap penampilan Jemek. Misalnya, dalam penampilan yang berjudul Halusinasi Seorang Pelukis, Jemek menceritakan tentang istrinya, pelukis bernama Freda Mairayanti. Seorang pelukis, diceritakan Jemek dalam pertunjukannya, memiliki imajinasi melebihi orang normal. Pelukis bisa begitu menjiwai karya lukisannya, bahkan benar-benar mengira lukisannya hidup dan bisa bergerak. Itulah yang diamati Jemek pada istrinya. Ibu Freda Mairayanti memiliki imajinasi yang begitu kuat, hingga kadang sering berhalusinasi.

Beda lagi makna yang terkandung dalam Perahu Nuh, salah satu karyanya yang lain. Dalam lakon ini, ia menceritakan bagaimana suatu hari dirinya digulung ombak air bah. Ia nyaris tenggelam, dan dari kejauhan ia lihat bahtera Nabi Nuh menyelamatkan makhluk-makhluk Tuhan. Ingin ia menggapai perahu itu, tapi tak sampai. Ingin ia ikut bersama Nabi Nuh menyelamatkan umat, tapi tak sampai.

isigood.com
isigood.com
Di sini ia ingin menyampaikan, bahwa bagaimanapun manusia bercita-cita, pasti selalu ada batasnya. Perahu Nuh digambarkan sebagai cita-cita manusia yang tidak selalu bisa digapai. Jemek sendiri memaknai karya itu sebagai hasrat pribadinya. Nabi Nuh menjadi sosok yang ia dambakan. Ingin ia menjadi seperti tokoh itu, membantu banyak makhluk dunia. Tapi apa daya, menjadi nabi adalah mandat yang hanya bisa diberikan Tuhan, pikirnya.

Jemek tampil tidak hanya di panggung, ia sering berpantomim di tempat-tempat aneh, di stasiun, di depan Rumah Sakit Jiwa (RSJ), dan bahkan di kuburan.

Stasiun mungkin biasa, tapi kenapa di RSJ? Tanya saya suatu kali.

"Saya ingin menunjukan bahwa orang sakit jiwa tetaplah manusia. Jangan sampai dianggap hina," katanya bijak.

Lalu kenapa di kuburan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun