Singkatnya, MPR ini tidak punya banyak kegiatan karena tentu tiap anggotanya juga sudah sibuk di DPR dan DPD. Percaya atau tidak, banyak lho yang menyarankan agar MPR dibubarkan saja, sehingga kalau ada keperluan negara sebagaimana yang biasa dilakukan MPR (melantik presiden, mengubah UUD, dan sebagainya), cukup kumpulkan DPR dan DPD saja dalam sidang, tidak perlu mengatasnamakan lembaga baru bernama MPR. Tapi hal tersebut belum terjadi, sehingga untuk sementara waktu, MPR akan ada di sini bersama kita semua.
Ketiga, lanjut ke DPRD, alias Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaga ini cukup mudah, bayangkan saja bahwa DPRD ini seperti DPR, tapi tingkatnya di daerah. Ada dua jenis DPRD, yaitu DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Kedua jenis DPRD ini dipilih oleh masyarakat provinsi, kota, dan kabupaten sesuai daerahnya masing-masing melalui pemilu. Nantinya daerah tersebut akan dibagi dalam beberapa daerah pemilihan.
Saya beri contoh, mari tengok Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki empat kabupaten dan satu kota, kabupaten Bantul akan kebagian 6 dapil dengan alokasi 45 kursi, kabupaten Gunungkidul kebagian 5 dapil dengan alokasi 45 kursi, Sleman memiliki 5 dapil dengan alokasi 50 kursi, kabupaten Kulonprogo memiliki 5 dapil dengan alokasi 40 kursi. Kota Yogyakarta kebagian 5 dapil dengan alokasi 40 kursi. Total berarti ada 220 orang yang duduk sebagai DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jadi jika DPR RI pusat bekerjasama dengan Presiden, maka DPRD Provinsi bekerjasama dengan Gubernur, dan DPRD Kota/Kabupaten bekerjasama dengan wali kota/bupati daerah bersangkutan.
Keempat, dan yang barangkali agak jarang dipahami orang, adalah DPD, alias Dewan Perwakilan Daerah. Meski namanya "daerah", sebenarnya DPD berkantor di pusat ibukota. Mereka adalah wakil dari berbagai daerah yang ditunjuk oleh rakyat daerah untuk mewakili aspirasi kedaerahan dan mengkoordinasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Di sini mungkin agak membingungkan, karena DPR juga dipilih dari daerah melalui mekanisme Dapil (Daerah Pemilihan), namun filosofi yang melatarbelakanginya sungguh-sungguh berbeda.
Untuk bisa memahami DPD secara lebih baik, akan lebih mudah untuk langsung membandingkannya secara head-to-head dengan DPR, karena sesungguhnya DPR dan DPD ini memang seperti saudara kembar yang mirip, tapi bisa sangat berbeda.
Dari segi filosofi, DPR adalah LEGISLATOR, ia adalah perwakilan atas kepentingan rakyat umum dalam dinamika pemerintahan. Maka itu, yang diurus DPR adalah pembuatan UU, pembahasan APBN, dan pengawasan atas kerja eksekutif.
Sementara DPD adalah SENATOR, ia adalah perwakilan atas kepentingan daerah dalam pemerintahan. Maka itu, yang diurus DPD adalah soal otonomi daerah, hubungan daerah dan pemerintah pusat, permasalahan daerah di wilayah perbatasan, penggabungan atau pemisahan daerah, dan lain sebagainya.
Tapi bukankah DPR juga dipilih dari masyarakat di daerah melalui mekanisme dapil?
Benar sekali, tapi jumlah yang diambil sama sekali berbeda untuk kedua lembaga ini. Karena DPR adalah legislator yang mewakili rakyat umum, maka kursi yang tersedia untuk tiap dapil di tiap provinsi juga berbeda-beda (dan bisa berubah tiap pemilu), dengan mempertimbangkan jumlah penduduk di daerah tersebut. Artinya, tiap provinsi diberi jatah jumlah alokasi yang berbeda-beda untuk duduk di kursi DPR.
Bingung? Oke, contoh saja, provinsi DKI Jakarta memiliki tiga dapil, yaitu Jakarta I, Jakarta II, dan Jakarta III.
Dapil Jakarta I melingkupi Jakarta Timur, dapil ini berhak atas 6 kursi DPR, Dapil Jakarta II melingkupi Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, dapil ini berhak atas 7 kursi DPR, terakhir Dapil Jakarta III melingkupi Kepulauan Seribu, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan, dapil ini berhak atas 8 kursi DPR. Totalnya, DKI Jakarta berhak atas 21 kursi di DPR.
Jika DKI Jakarta punya tiga dapil, bandingkan dengan Jawa Barat yang punya 11 Dapil sehingga memiliki 91 kursi di DPR, bandingkan pula dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya punya 1 Dapil dan hanya punya 8 kursi di DPR.