[caption id="" align="aligncenter" width="685" caption="sumber gambar: gramediamatraman.wordpress.com"] [/caption]
Siapa yang suka mengisi Teka-Teki Silang (TTS)?, berdiri di sebelah kanan. Yang tidak suka, silakan mengambil tempat di sebelah kiri....
hehehe... bercanda kok. Berikut ini yang tigarius...
Suka atau tidak, para Kompasianer sedikit-banyak tentu tahu TTS. Kalu pun toh tidak tahu, saya tidak akan memberitahu apa itu TTS karena postingan ini akan terlalu panjang. Lagi pula di Kompasiana ini sudah ada bahasan soal itu, klik saja tulisan Affandi Sido, DI SINI.
Bermacam-macam motif seseorang menggemari TTS. Sekadar iseng untuk mengisi waktu, mengasah otak, mengharap hadiah atau gabungan dari beberapa motif tersebut. Meskipun kegemaran mengisi TTS dilatari oleh sekadar iseng, menyelesaikan TTS kadang memberikan kepuasan tersendiri. Apalagi jika dilatar-belakangi mengharapkan hadiah.
Lalu bagaimana dengan yang beralasan untuk mengasah otak? Diakui atau tidak, mengisi TTS memeras otak juga. Tak salah jika sebuah buku TTS diberi judul Asah Otak.Penghobi TTS akan berusaha mencari jawaban yang betul-betul sesuai. Mereka-reka sendiri, bertanya kepada teman, membuka kamus dan tesaurus, atau bahkan browsing sana-sini mencari jawaban di dunia maya. Jika seandainya ada kamus khusus TTS, para penggila TTS akan menjadikannya rujukan. Ada rasa penasaran jika tidak mampu menyelesaikan semua pertanyaan. Apalagi tinggal tidak lebih dari lima soal yang tak terjawab.Seseorang yang mampu menyelesaikan seluruh pertanyaan TTS dengan benar dan cepat akan dinilai hebat oleh orang lain. Terutama oleh orang lain yang selama ini belum pernah mampu menyelesaikan TTS satupun meski sudah mencoba berulang kali.
Namanya juga teka-teki, upaya menebak tuntas soal-soal membutuhkan pikiran ekstra. Rasa penasaran yang sering timbul memaksa para penggemar asah otak ini merasa perlu untuk terus memperkaya diksi, baik dalam Bahasa Indonesia, bahasa asing maupun bahasa daerah termasuk Sanskerta. Juga perlu memperluas cakrawala pengetahuan umum. Namun demikian, dengan mengisi TTS setelah dituntut untuk menemukan istilah, nama, sebutan, ungkapan, singkatan, sinonim, antonim dan lain-lain, para penggemar TTS akan semakin banyak mengenal kosakata. Dengan sendirinya, akan menambah wawasanpula.
Saya sendiri dulu amat menyukai permainan ini sehingga sering membeli bukunya yang seukuran kuarto maupun yang berbentuk seperti buku ekspedisi. Senang sekali bila mendapatkan buku TTS yg ada kunci jawabannya (hehehe… bisa nyontek jawaban, dong). Namun akhir-akhir ini saya sudah jarang membeli, sesekali saya mencoba mengisi TTS di surat kabar setiap minggu. Iseng saja untuk mengisi waktu. Tapi saya jarang sekali mampu menyelesaikan secara tuntas.
Memperingati 46 Tahun kelahirannya, Minggu tanggal 26 Juni 2011 Harian Kompas menampilkan TTS edisi khusus. Kotak-kotak TTS menyita setengah halaman. Pembaca Kompas yang ingin mencoba keberuntungan mendapatkan hadiah TTS itu harus mampu menjawab 115 pertanyaan mendatar dan 116 pertanyaan menurun. Penggemar TTS amatiran seperti saya (emang ada ya, penggemar TTS Profesional?) tentu merasa susah untuk menyelesaikan semua pertanyaan sebanyak itu dengan benar. TTS mingguan reguler saja yang jumlah pertanyaannya sekitar seratusan saja tak pernah bisa, bagaimana dengan pertanyaan sebanyak itu?
Tapi saya tak menyerah begitu saja. Inilah salah satu filosofi TTS, terus sabar mencari ‘kebenaran jawaban’ walaupun kadang berharap mendapatkannya secara kebetulan. Saya coba isi kotak-kotak satu demi satu. Kali ini saya benar-benar berambisi bisa ‘menaklukkan’ TTS edisi spesial Harian Kompas dan segera mengirimkan jawabannya agar sampai ke redaksi sebelum tanggal 18 Juli 2011. Saya men-deadline diri sendiri mengirim jawaban seminggu sebelum batas akhir. Sebanyak 40 orang atau lima belas orang lebih banyak dari biasa, berkesempatan untuk menjadi orang yang beruntung memenangi TTS itu.
Lambat laun hampir semua kotak telah terisi. Sampai hari H deadline, masih tersisa dua pertanyaan yang belum terjawab. Pertanyaan mendatar nomor 104: Kata seru, terutama kepada orang yang dicintai. Tersedia 3 kotak untuk jawaban itu. Kotak pertama terisi huruf “S” dan kotak ketiga huruf “O”. Saya coba buka kamus dan tesaurus yang saya miliki mencari beberapa diksi tiga huruf berawal “S” dan berakhir “O”. Sial, kata itu tak saya temukan di sana. Saya coba susun kombinasi dengan menyisipkan aksara-aksara vokal dan konsonan “H”, tak satu pun yang sreg di hati. “Sao”, “sio”, “suo”, “seo” dan “sho”, terdengar asing.
Satu lagi soal yang tidak dapat saya jawab, pertanyaan mendatar 189: Berbagai macam. Tinggal kotak untuk huruf ke 3, 5 dan 7 yang belum terisi, N E _ A _ E _ A. Untuk menjawab ini saya tidak berpikir lagi membuka kamus. Pikiran saya terpaku pada sinonim paling memungkinkan dari lema “Berbagai macam” adalah “BERANEKA”. Akhirnya, saya pun memutuskan menyerah tanpa syarat.
Satu bulan kemudian, tanggal 24 Juli 2011, jawaban TTS edisi ultah Kompas atau nomor 1625 dan nama-nama pemenang diumumkan. Segera saya cari-cari jawaban ‘misteri tak terpecahkan’, soal mendatar 104 dan 189. Di sana tertulis masing-masing jawaban: “SIO” dan “NEKA-NEKA”. Tak percaya dengan jawaban itu, saya berkunjung ke KBBI Daring.
Hasilnya? Gambar di bawah ini:
Saya menyesal kenapa tidak mencoba lebih bersabar lagi dan mengkonsultasikan beberapa kemungkinan jawaban kepada Pusat Bahasa melalui KBBI Daring. Khusus untuk lema “neka-neka”, andai saya cermat dan melafalkan lema itu dengan lafal bahasa Jawa, tentu pikiran saya tidak akan terpaku pada kata “beraneka”. Neko-neko amat saya kenal dan sering saya gunakan untuk menegur seorang teman yang biasa mengendarai sepeda motor dengan berzig-zag ria, atau sesiapa yang terlihat akan berbuat di luar kenormalan. “Ojo neko-neko, biasa ae lah”, begitu saya bilang. Saya benar-benar merasa tak lulus uji kesabaran dan kejelian.
Belajar dari ketidak-lulusan tadi, saya terobsesi untuk mencoba lagi menaklukkan TTS Kompas. Target saya edisi 1629 tanggal 24 Juli itu juga. Baik mendatar maupun menurun masing-masing terdapat 52 pertanyaan. Maklum edisi reguler, pertanyaan tak sebanyak edisi khusus. Tapi tak apa lah, yang sedikit ini belum tentu juga tuntas terjawab dengan benar seratus persen.
Ada tiga pertanyaan yang menjadi batu sandungan untuk menuntaskan TTS itu. Pertanyaan nomor 12 mendatar, Kain ikat kepala; 72 mendatar, Pelangi dan 79 menurun, Daun pemerah kuku; pacar. Masing-masing kotak yang belum terisi, adalah: D E _ T _ R, T _ J A dan I _ _ I. Lema “destar” saya temukan dari hasil selancar di dunia maya, “teja” saya comot dari tesaurus dan “inai” atas masukan istri. Klop!!! Akhirnya 104 pertanyaan tuntas juga terjawab. Tiga hari kemudian saya sempatkan ke kantor pos untuk mengirim jawaban itu ke pengasuh TTS Kompas.
Tapi saya mesti tenang dan tak keburu senang. Keberhasilan menaklukkan TTS sebuah media besar itu baru akan diketahui sebulan lagi. Siapa tahu semua jawaban benar dan saya termasuk salah seorang yang beruntung. Namun yang jelas, ikut-ikutan mengisi TTS kali ini telah menambah 3 biji kosa kata baru: Destar, Teja dan Inai. Sebelumnya, bagi saya, lema “destar” dan “teja” sama sekali asing. Sinonim “pelangi” yang saya kenal hanya “bianglala”. Sedangkan “inai”, terngiang-ngiang sepertinya pernah kenal dari kebiasaan mengisi TTS.
Salam menulis dengan sepenuh cinta!
Hamzet, 29072011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H