Mohon tunggu...
Hamzet
Hamzet Mohon Tunggu... Administrasi - Keterangan Profil harus diisi

Lelaki penadah ilmu, pemulung pengetahuan dan (semoga bisa) mengamalkan serta menebarkannya kembali. Kelahiran Kota Probolinggo yang dalam bahasa gaul lazim disebut "Prolink". Kota ini disebut juga Bayuangga (angin, anggur dan mangga).

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buku Adalah Gudang Ilmu, Katanya.

10 Juli 2011   07:39 Diperbarui: 4 April 2017   16:20 8535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="666" caption="sumber: smarterbyreading.blogspot.com"][/caption] "Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya"

Pepatah ini kerap kita dengar. Hampir semua orang yang pernah mengenyam pendidikan formal mengenal pepatah ini. Tapi yang menyadari dan melakukannya masih sedikit. Minat baca penduduk negeri ini masih rendah. Aktivitas membaca belum begitu membudaya. Bahkan melihat seseorang yang tekun membaca buku saja dianggap aneh. Julukan sok pintar, sok profesor, kebarat-baratan dan lain semacamnya segera saja ditempelkan kepada si kutu buku.

Bagi penggemar membaca buku, membaca di sembarang tempat butuh mental kuat. Harus kebal cemoohan dan sindiran yang kadangkala menyakitkan telinga. Padahal membaca buku adalah kegiatan yang positif dan tidak melanggar sebiji pun peraturan perundang-undangan di negeri ini. Pun begitu, membaca tidak melanggar HAM. Tapi mengapa ada saja yang merasa ‘terganggu’ oleh seseorang yang membaca buku di sekitarnya?

Tradisi lisan yang lebih membudaya daripada tradisi membaca, mungkin bisa dituding sebagai biang penyebabnya. Terlibat dalam obrolan lebih asyik dibanding ‘berdialog’ dengan sebuah buku. Lebih parah lagi obrolan lebih mengarah kepada ngegosip alih-alih berdiskusi tentang sesuatu hal.

Saya sendiri lahir dan besar bukan di keluarga yang gemar membaca. Di masa SD dulu, saya sering membaca KUNCUP1), sebuah majalah anak-anak yang beredar di Jawa Timur. Saya tidak tahu apakah majalah itu beredar hanya untuk kalangan guru SD ataukah beredar untuk umum. Setiap awal bulan saya selalu menunggu terbitannya di rumah tetangga yang seorang guru SD asal Tulungagung2). Tak sampai seminggu majalah itu saya baca tuntas. Setelahnya selama 3 minggu saya harus kesepian menunggu edisi bulan berikutnya.

Sejak saat itu kegemaran membaca terus bergelora. Tapi berhubung masih imut, kesukaan Hamzet kecil masih bacaan-bacaan ringan semacam 4 sekawan dan komik-komik Superman hadiah membeli 3 sabun mandi. Kadang juga majalah Bobo terbitan beberapa bulan silam. Maklum mau beli majalah baru, selain susah dapatnya, harganya selangit.

Kini kegemaran membaca makin menjadi-jadi. Ke mana-mana membawa buku meski kadang tak sempat membaca –tak sempat atau malas?. Saya merasakan ada kenikmatan tersendiri bila mengisi waktu terutama saat suntuk dalam antrean di ruang customer service dengan membaca buku. Daripada melamun, tentu membaca buku lebih baik. Bahkan saat di kantin pun saya cangking sebuah buku. Membaca buku ditemani secangkir kopi racik. Ah, nikmatnya. Tapi membaca buku di kantin tidak lah mudah. Mesti berusaha cuek bebek terhadap pandangan aneh orang-orang sekeliling. Harus tahan dicap sebagai pribadi yang asosial karena memilih membaca buku daripada bergabung ngobrol ngalor ngidul ngibul bersama mereka.

Saya yang merasa bodoh ini tidak membatasi diri terhadap topik yang hendak dibaca. Agama, politik, antropologi, teknik, sejarah, fiksi atau pidato presiden pun dapat saya nikmati, asal lagi mood. Barangkali ini dilatar-belakangi oleh pendidikan formal saya yang beraneka warna. Pernah mengenyam pendidikan di madrasah, Sekolah Teknologi Menengah dan FISIP Administrasi Negara. Gado-gado dan zig-zag, bukan?

Meski menggemari membaca buku, meminjam bacaan di perpustakaan paling saya hindari. Bukan karena buku yang tersedia tidak sesuai selera. Buka pula karena petugasnya galak. Saya tak enak hati saja bila meminjam karena jarang sekali bisa mengembalikan buku tepat waktu. Juga karena durasi waktu pinjam tak cukup bagi saya untuk melahap semua isi buku. Solusinya? Beli!!! Bukan sok-sok punya duit sih... Kalau punya sendiri amat leluasa mau dibaca kapan dan di mana pun.

Saya paling senang bila ada bazar buku. Asal ada duit segera saja meluncur ke TKP. Seperti 3 bulan terakhir, ada bursa buku di beberapa tempat dalam rentang waktu tidak begitu lama. Sebuah toko buku terkenal yang membuka gerai baru dan mengadakan bulan promosi agaknya memancing toko buku terkenal lainnya untuk melakukan hal yang sama, memanjakan konsumen. Juga sebuah mall yang menyediakan lapak khusus diskon buku-buku Gramedia. Belum lagi even tahunan Seminggu di Probolinggo (SEMIPRO 2011) yang juga menggelar GEBRAK atau Gebyar Buku Rakyat yang mengumpulkan berbagai penerbit dalam sebuah lapangan tenis indoor dan menjual berbagai buku bagus dengan harga lumayan miring. Dalam kesempatan ini saya memborong 4 buah buku.

Namun sayang, ada beberapa buku idaman saya yang tidak terpajang di sana. Saya lirik cara lain. Berbekal nekad saya mencoba dekat-dekat dengan toko buku online yang masih keluarga Kompasiana juga. Beberapa judul buku saya masukkan ke wishlist sambil menunggu duit tersedia untuk dimasukkan ke keranjang belanja.

Soal kelak di mana dan bagaimana buku-buku yang sudah saya beli dan pesan itu akan dibaca, tak penting untuk dipikirkan. Membaca buku tak bakal mengganggu orang lain. Membaca buku kapan pun dan di mana pun. Tak peduli orang sekeliling mau bilang apa. EGP!!! Anjing menggonggong, kafilah berlalu.

Buku adalah gudang ilmu, katanya. Kata siapa? Ah, tidak penting. Kita pun bisa mengatakan itu. Sekarang jika gudangnya sudah ada, tinggal kuncinya. Kuncinya gratis segratis-gratisnya, yakni membaca. Tekad, niat dan cinta yang akan membuat kita mau membaca. Tekad untuk mengetahui lebih banyak, niat untuk memperbaiki kulaitas diri dan cinta kepada pengetahuan akan ‘memaksa’ diri untuk MEMBACA! Mari kita buka gudang ilmu, kapan pun dan di mana pun.

Wallahu a’lam

Sepenuh cinta

Hamzet, 100711

---------------------------------------------

1) masih adakah sekarang 2) apa kabar Bu Sum dan Pak Mudjiat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun