Mohon tunggu...
Hamzet
Hamzet Mohon Tunggu... Administrasi - Keterangan Profil harus diisi

Lelaki penadah ilmu, pemulung pengetahuan dan (semoga bisa) mengamalkan serta menebarkannya kembali. Kelahiran Kota Probolinggo yang dalam bahasa gaul lazim disebut "Prolink". Kota ini disebut juga Bayuangga (angin, anggur dan mangga).

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

[MPK] Bulan Separuh di Wajah Mahesa

10 Juni 2011   14:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:39 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_115630" align="aligncenter" width="640" caption="sumber ilustrasi: jakartacity.olx.co.id"][/caption] Di sebuah senja nan ranum, Nuning menyendiri. Pandangannya lekat pada ikan-ikan hias yang bermain di kolam depan gazebo tempatnya duduk. Namun pikirannya sama sekali tak tertuju pada keindahan warna dan liukan lincah ikan-ikan itu. Tak pula ia menikmati gemericik air pancuran. Segumpal kegalauan sedang menyelimuti benaknya. Telah lima tahun usia pernikahannya dengan Aria, namun belum juga diwarnai gelak tawa anak kecil yang menjadi nada dalam hidup mereka berdua.

Rumah mungil bertingkat dengan isi perabot berkelas tak mampu menyajikan kebahagiaan sempurna. Hamparan halaman yang cukup luas berhias bebungaan warna-warni ia rasakan percuma tanpa ada tingkah riang bocah berlarian mengejar kupu-kupu. Pun begitu dengan ayunan kecil di depan gazebo, tiap hari merana terpekur sendiri tak ada yang mengajaknya bermain. Yang ada hanya sunyi.

Akhir-akhir ini kecamuk pertanyaan-pertanyaan tak mengenakkan soal anak silih berganti timbul tenggelam di benak Nuning. Saat mengunjungi sanak famili, sahabat, atau kala berjumpa dengan kawan lama pertanyaan sudah berapa anakmu? atau belum jadi-jadi juga?, selalu mengiringi basa-basi pertanyaan tentang kabar.

Nuning sadar betul bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut amatlah lumrah. Saat bertemu dengan seseorang yang lama berpisah tentu tidak etis menanyakan berapa jumlah rumah atau mobilnya.Namun bagi wanita cantik berkulit putih mulus itu, pertanyaan soal anak terasa menyudutkannya. Pertanyaan seperti itu seakan mempertanyakan kesempurnaannya sebagai seorang perempuan. Ia ingat di sebuah reuni SMA beberapa waktu lalu, semua karib wanitanya membawa momongan. Jenna membawa serta satu dari dua anaknya. Wina dan Fayra membawa kedua anaknya yang lucu-lucu. Bahkan Ellyz datang dengan ketiga anaknya. Padahal mereka menikah di tahun yang sama dengan Nuning dan hanya berbeda 2-3 bulan.

Seperti biasa, saat ditanya soal anak, Nuning tersenyum kecut dan menelan ludah. Keceriaan di wajahnya bisa sontak berubah muram berkabut mendung. Hanya bisikan lirih memohon doa yang keluar dari mulutnya setelah berjuang melenturkan lidahnya yang terasa kelu. Ia pun mesti membendung air matanya yang hendak keluar terdesak perih di dadanya.

Pagi tadi, ribuan onak serasa menghunjam jantung Nuning. Ibu mertuanya kembali bertanya mengenai hasil terapi yang disarankan dokter. Tampak gurat kecewa di wajah ibunda suaminya itu mendengar jawaban Nuning. Harapan memomong cucu nan lucu seolah menguap begitu saja. Kekhawatiran akan bernasib seperti suaminya yang tidak sempat menimang cucu sampai akhir hayatnya kembali menghantui perempuan 50-an tahun itu. Nuning hanya tertunduk diam. Dilihatnya air mata kecil mengalir di balik kacamata mertua satu-satunya itu.

***

Aria menghentikan kegiatannya mencabuti ilalang liar yang tumbuhdi sela-sela rumput gajah mini begitu melihat istrinya larut dalam lamunan. Ia menghampiri Nuning, mengambil posisi satu tangga lebih tinggi dari tempat Nuning duduk. Dibelainya rambut sang istri dengan lembut.

“Sudahlah, Sayang. perkataan mama jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kita sudah berusaha dan masih akan berusaha lebih serius lagi. Lagi pula mama tidak nyalahin kamu, kok. Mama cenderung menyuruhku lebih bisa mengatur waktu, tidak kerja, kerja dan kerja terus. Ingat saat kita periksa ke dokter setahun lalu, kan? Kita dinyatakan sehat.” Bisik Aria seolah mengerti apa yang dipikirkan Nuning.

“Iya, Mas... tapi ini bukan soal perkataan mama semata. Rasanya aku belum menjadi wanita sempurna bila belum merasakan kehamilan dan mempersembahkan keturunan buatmu”, disandarkannya kepala Nuning ke paha Aria.

Jangan ikut-ikutan merasa seperti itu, Sayang. Hamil dan melahirkan bukanlah sebuah harga mati untuk dikatakan sebagai wanita sempurna.”

“Tapi, Mas...

“Sudah, ya… hal itu tak usah kita bahas lagi.”

“Hmmm… Mas...

“Ya. Apa lagi?”

“Bagaiamana kalo kita mengupayakan jalan lain?”

“Maksudmu?”

“Selain semua yang disarankan dokter, kita menempuh jalan lain.”

“Dengan do’a? Bukankah hal itu sudah kita lakukan?”

“Ada lagi, Mas...”

Apa? Dukun?Mistik? Nggak… Nggak, aku ga mau memakai cara-cara klenik,” Aria segera memotong ucapan Nuning.

“Bukan. Aku juga ga suka, Mas.”

“Lalu?”

“Seperti si Midun, penjaga malam kantor Mas Aria. Ia pernah cerita kalo dia punya anak setelah memelihara monyet.

“Apa itu bukan termasuk klenik? Lagian aku tak suka melihat binatang diikat-ikat seperti itu. Enggak ah”, tolak Aria yang memang pernah menjadi aktivis penyayang binatang.

“Menurutku itu hanya mitos saja. Tidak sampai ke klenik. Tapi kalo ga setuju, ya ga apa-apa. Kalo adopsi, gimana? Konon itu bisa juga sebagai pemancing anak.”

Mmhhh… Kalo adopsi ini bisa kita diskusikan lebih lanjut. Aria mulai tertarik gagasan istrinya.

Mereka pun bangkit dan turun dari gazebo, meninggalkan senja yang kian merembang. Jingga di kaki langit barat semakin pekat. Lengan kanan Nuning mengapit manja pinggang Aria. Mereka beriringan melangkah melangkah menuju pintu rumah mungilnya.

***

Terdengar nada pesan singkat masuk di handphone Aria. Dari istrinya.

Kalo ada waktu longgar telpon aku, Mas. Aku barusan dari Panti Asuhan. Ada bayi yang bisa kita adopsi.

Sejam lagi coffee break.Aku telpon deh. Sms balasan Aria pun terkirim.

Aria sedang berada di Taiwan saat Nuning menghubunginya. Patut disayangkan, kepergian Aria kali ini bersamaan dengan masa subur Nuning. Waktu yang mereka tunggu-tunggu jadi terbuang sia-sia. Mereka berdua pun tak bisa berbuat apa-apa selain bersabar dan menerima. Kepercayaan perusahaan yang Aria raih dengan susah payah selama ini tak mungkin ia korbankan.

Aria menepati janjinya, menelepon Nuning sejam kemudian.

“Halo... Assalamu’alaikum...”

“Ya, halo... wa’alaikum salam... Mas sehat-sehat saja? Trus acaranya lancar, kan?”

“Alhamdulillah, berkat doamu meski cuaca di Taiwan kurang bersahabat, aku fit. Acara sesuai rencana, tak ada kendala berarti. Besok malam acara berlanjut di Singapura.”

“Syukurlah kalo gitu. Oh ya, Mas tadi aku dari panti asuhan. Ada bayi lelaki yang bisa kita adopsi. Kata pengurus panti di sana, bayi itu mereka temukan seminggu lalu, usianya belum genap sebulan. Bagaimana menurutmu, Mas?

“Hhmmm…ada kabar tentang orang tuanya?”

“Ga ada sama sekali, Mas. Dia diletakkan begitu saja dalam kardus  di depan pagar panti asuhan. Bayinya lucu, Mas.”

“Kalau begitu tunggu aku pulang dulu, lalu kita sama-sama ke panti itu. Nanti setelah itu kita putuskan mengadopsi bayi itu atau tidak.”

“Baiklah, Mas.”

“Sabar ya, Sayang.”

Pembicaraan dengan Aria sungguh di luar harapan Nuning. Dia sungguh berharap Aria langsung menyetujui mengadopsi bayi mungil itu, sebab ia telah jatuh cinta sejak mula melihatnya. Namun, sebagai istri dia tahu kewajibannya untuk patuh pada suami, maka disabarkannya hatinya menunggu kepulangan Aria.

Empat hari kemudian Aria telah kembali ke Indonesia. Buncah perasaan Nunik saat menyambut kedatangan Aria di rumah. Tak dipedulikannya oleh-oleh yang dibawa Aria untuknya, dipikirannya cuma satu, segera mengunjungi panti asuhan dan membawa bayi mungil itu pulang. Sebagai suami yang telah lima tahun mendampingi Nuning, Aria paham sikap istrinya kali ini, sehingga ia pun tak ingin berlama-lama membiarkan istrinya memendam rasa rindu pada bayi yang diceritakannya beberapa hari lalu. Aria berjanji esok mereka akan ke panti, melihat bayi itu dan mengurus segala keperluan untuk adopsi. Mendengar hal itu, Nuning begitu gembira, laiknya anak kecil beroleh hadiah yang telah lama diidamkannya.

Mahesa Surya Putra, itulah nama yang disematkan Aria dan Nuning pada bayi lelaki yang akhirnya mereka adopsi. Tak butuh waktu lama untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan proses adopsi, kini Mahesa telah berada dalam dekapan kasih sayang mereka berdua. Nuning betul-betul melimpahkan segala perhatiannya buat Mahesa, begitu pun Aria. Tiap pulang kantor, hal pertama yang dilakukan Aria adalah menggendong Mahesa dan mengajaknya bermain hingga kadang ia lupa akan segala keletihannya setelah seharian berkutat dengan pekerjaan kantor. Benarlah kalimat bahwa anak adalah kebahagiaan terbesar dalam sebuah rumah tangga, menjadi terang juga nada indah dalam hari-hari yang dilalui, maka demikianlah yang dirasakan Nuning dan Aria meski Mahesa bukanlah darah daging mereka sendiri.

Kehadiran Mahesa benar-benar telah membawa bahagia. Terlebih lagi, ibu mertua Nuning tak mempermasalahkan apakah ia anak kandung atau bukan, yang jelas ia telah memomong cucu yang lucu. Mahesa benar-benar menerima banjir kasih sayang dari keluarga tersebut. Namun, semua itu tak berlangsung lama. Beriring waktu, pertumbuhan Mahesa mulai menampakkan hal yang tidak wajar. Saat usianya lima bulan, ketidakwajaran tersebut mulai nampak dengan rambutnya yang tumbuh jarang-jarang.Namun menurut ibu mertua Nuning hal tersebut lumrah. Mungkin saja ayah atau ibu kandungnya berambut jarang. Kulitnya yang kering, teratur diusapi baby oil. Raut mukanya yang Mongoloid, mungkin saja orang tuanya berdarah keturunan. Banyak alasan yang dilontarkan untuk mencegah segala kekhawatiran akan pertumbuhan Mahesa.

Memasuki usia tujuh bulan, Mahesa sama sekali belum mampu merangkak. Begitu juga respon yang diberikan Mahesa sangat lambat jika Nuning dan Aria mengajaknya bermain. Hal ini membuat Nuning dan Aria memutuskan memeriksakan Mahesa ke dokter anak. Mereka khawatir ada kelainan pada Mahesa, dan vonis dokter kala itu membuat dunia Nuning berguncang. Mahesa menderita Down Syndrome.

Hidup adalah roda, bahagia dan duka silih berganti. Begitu pula dengan kehidupan rumah tangga Aria-Nuning. Kebahagiaan yang mekar saat Mahesa baru tiba di rumah itu pelan-pelan layu sejak Mahesa divonis mengidap DS. Aria  mulai bersikap acuh terhadap Mahesa, toh dia bukan darah dagingku sendiri, bukan benihku, alasannya. Sementara Nuning, tak sedikitpun kasihnya berkurang pada Mahesa. Ia telaten mencari tahu seputar DS dan cara penanganannya. Ia yakin, Mahesa mampu menjalani hidupnya seperti anak-anak normal lainnya. Ia percaya Mahesa adalah titipan Tuhan yang tak boleh disia-siakannya.

Saat Nuning sibuk mencurahkan waktunya untuk Mahesa, Aria mulai merasakan kehilangan kehangatan yang ada diantara dia dan istrinya. Ia iri pada Mahesa. Ia merasa Mahesa telah merampas Nuning, bahkan tak jarang ia berpikir Nuning tak lagi peduli padanya.

Saat masa-masa gamang itulah, Maya hadir. Perempuan yang dikenal Aria dalam sebuah tender itu mampu mampu mendebarkan hati Aria. Pesonanya menghipnotis Aria. Menggiring mereka berdua dalam sebuah affair yang akhirnya sempurna mululuhlantakkan dunia Nuning. Kedatangan Maya dengan kabar kehamilannya sebagai buahpersemaian benih Aria, membuat rumah yang biasanya tenang menjelma medan perang Kurusetra. Nuning dan Aria bertengkar sengit untuk pertama kalinya dalam kurun pernikahan mereka yang hampir enam tahun.

“Kenapa Mas Aria tega melakukan ini padaku?”

“Hhhhhhhhhh! hanya dengus napas Aria yang membelakangi Nuning terdengar dari mulutnya.

“Jawab, Mas?!!!... desak Nuning dengan nada suara meninggi.

“Heh... bisa lebih sopan nggak sih kalo bicara dengan suami!” sergah Aria sambil membalikkan badan. Telunjuknya tepat menuding ke arah jidat istrinya. Nuning terkejut melihat perubahan sikap Aria. Tak adalagi kelembutan pada mata juga laku suaminya itu.

“Kau tahu, aku malu di rumah ini ada penderita kelainan! Itu aib...!”

Astaghfirullaaah.... sadar Mas... Mahesa tidak bersalah. Ini sudah takdir Tuhan untuk dia Mas. Dan Tuhan mempercayakan kepada kita untuk memelihara dan menyembuhkannya Mas! Bukan aib!”

“DS bisa sembuh? Omong kosong!”

“Tapi Mas.....”

“Tapi apa?!!!”

“Dia anak kita.”

“Apa?... Bukan! Dia bukan anakku. Bukan benihku!”

“Kita sudah mengadopsinya. Ingat! kita mengadopsi Mahesa demi masa depannya. Itu tertulis sebagai latar belakang kita mengangkatnya menjadi anak pada surat permohonan kepada Pengadilan. Itu sama saja dengan ikrar, Mas.”

“Itu dulu, sebelum aku tahu bahwa anak itu mengidap kelainan.”

“Lantas, itu yang membuatmu tega mengkhianati ikrar itu?”

“Terserah apa katamu. Yang jelas, aku ingin anak yang sehat. Dan aku yakin,  aku bisa memenuhi keinginanku itu dari benihku sendiri!” ucap Aria ketus.

Kata-kata Aria, suaminya yang dulu ia bangga-banggakan kesabaran dan kelemah-lembutannya, membuat Nuning tersengat. Amarahnya kian meledak di tengah isak menahan perih hatinya.

“Aku nggak mau dimadu. Ceraikan aku dan silakan bersenang-senang dengan sundalmu itu!!!”

“Baik. Memang itu yang akan kulakukan. Bagiku Maya lebih baik. Bisa memberikan apa yang kuinginkan, kasih sayang dan keturunan!” pungkas Aria. Ia langkahkan kaki dengan senyum sinis di sudut bibirnya sebelum membanting pintu keras-keras.

Kini tinggallah Nuning dengan isaknya mengecupi wajah Mahesa. Dibelainya lembut anak yang disayanginya itu seperti anak yang keluar dari rahimnya sendiri. Ia yakin Tuhan akan menurunkan mukjizat-Nya sehingga ia mampu membesarkan dan membuat Mahesa hidup layaknya anak normal.

Selepas perceraiannya dengan Aria, karier Nuning justru melesat. Ia yang dulunya hanya staf, kini memimpin sebuah divisi strategis. Berbagai fasilitas istimewa ia dapat dari perusahaannya. Bahkan, melalui asuransi kesehatan, perusahaannya menyediakan seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan rutin memantau perkembangan buah hatinya. Penghasilan yang tinggi membuatnya mampu menyewa seorang baby sitter berkemampuan merawat anak penderita kelainan. Pula fasilitas khusus yang diperlukan untuk mempercepat perkembangan IQ Mahesa.

Berbagai upaya disertai ketelatenan dan keikhlasan Nuning menerima kenyataan, mulai menampakkan hasil. Mahesa sudah mulai cepat merespon keadaan di sekitarnya. Dokter yang merawat menyatakan perkembangan Mahesa amat bagus. Kekhawatiran akan terjadi disfungsi fatal terhadap organ dalam, terutama jantung Mahesa, tidak terjadi.

***

Enam tahun kemudian…

Nuning dan Mahesa sedang duduk di gazebo sambil memperhatikan ikan-ikan hias di kolam. Kini Mahesa telah mampu berjalan dan berbicara. Nuning memeluk Mahesa mesra, sambil sesekali menggelitik anaknya itu. Mereka tertawa. Sepasang mata dibalik kacamata hitam memandangi mereka. Tubuh kurusnya dan rambutnya yang tidak tersisir rapi ia sembunyikan di balik topinya. Raut wajahnya tampak kusam, mengguratkan kepedihan teramat dalam.

Di balik senyumnya yang getir teronggok berlaksa sesal. Dadanya remuk redam terimpit lara. Belum genap sebulan ia kehilangan Maya, istrinya. Nyawa Maya terenggut oleh sebuah penyakit seperti tertera di selembar kertas yang sedang diapit oleh telunjuk dan ibu jarinya. Hasil tes laboratorium dirinya sendiri. Beberapa kalimat tertulis di sana, namun hanya tiga huruf yang menikam benaknya. "HIV...!!!"

ada kemungkinan kisah ini belum

-------------- T  A  M  A  T -----------

Penulis:Hamzet & Uleng Tepu (N0. 8)

[caption id="" align="aligncenter" width="333" caption="sumber ilustrasi: http://www.graphicshunt.com/images/down_syndrome_awareness-3622.htm"][/caption]

Silakan baca hasil karya para peserta lainya, di sini:

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/06/10/inilah-perhelatan-malam-prosa-kolaborasi-di-kompasiana/%C2%AD%20%C2%AD" target="new">INILAH PERHELATAN MALAM PROSA KOLABORASI DI KOMPASIANA>

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun