Beberapa tahun ini saya mengalami banyak sekali keresahan terkait pendidikan yang ada di Banten, saya tidak ingin membahas bagaimana Banten menjadi wilayah yang sangat strategis karena dekat dengan pusat pemerintahan di Jakarta, karena saya kira itu akan percuma saja untuk dikemukakan, toh dari dahulu memang demikian, hampir 23 tahun Banten berdiri menjadi Provinsi, keadaanya masih saja sama.
Namun, hal demikian bukanlah bentuk pesimistis saya akan pendidikan saat ini, karena dahulu kita pernah berjaya dengan mempunyai pola pendidikan yang cukup baik, saya ingat betul ketika beberapa guru menyampaikan bahwa sultan Hasanuddin selain memegang kepemimpinan di Banten, sehari-harinya ia habiskan untuk mengajar.
Sosok Doktor pertama di Indonesia atau Hindia Belanda saat itu, Hussein Jayadiningrat menjadi momok berarti yang menjadikan dirinya orang yang sangat berpengaruh di Banten ia merupakan orang Serang atau orang Banten asli, sosok Sultan Agen Tirtaya dan para tokoh lainnya tentu hadir menjadi icon penting para penggagas pendidikan dan juga pola masyarakat yang cukup baik, bahkan salah satu momen penting dalam sejarah, Banten pernah menciptakan mata uang sendiri dan memonopoli pasar dagang khusus di wilayahnya ketika terkepung sehingga tidak bisa keluar dari Banten, tentu ini menjadi sesuatu yang perlu kita ambil pelajarannya.
Menyoal dari keresahan terkait pendidikan kita, yaitu pola pendidikan yang sangat melelahkan, poin ini yang akan dominan diakangkat pada catatan kali ini. Beberapa hal terkait pendidikan yang masih sangat rumit kita bisa melihat adanya sistem pendidikan yang terlalu berkutat pada administratif dan banyaknya tekanan yang terjadi dalam pendidikan.
Ketika beberapa hal itu hadir menjadi sesuatu yang biasa, para penyelenggara pedidikan sebutlah menteri pendidikan, kepsek, guru dan lainnya hanya berfokus pada rekayasa dalam meningkatkan mutu hasil, sedangkan mutu proses belajar cenderung diabaikan.
Dalam periode bulanan atau per semesternya satuan pendidikan cenderung lebih fokus mengurus hal yang berbau administratif seperti laporan, penilaian dan juga isi konten yang sudah mereka lakukan, tentu saja tujuannya agar kinerja mereka dapat terlihat dengan baik juga pemenuhan syarat tunjangan yang menjadi tujuan utamanya.
Selain dari dua point tadi, saya melihat adanya sebuah bentuk keluhan yang tersirat ketika kita membahasakan terkait sistem pendidikan yang sedang berlangsung, diantara keluhan tersebut adalah pendidikan dengan konsep Ing Ngarasa Sung Thulada terbilang cukup melelahkan bagi sebagian pendidik.
Faktanya memang terasa demikian, dunia pendidikan kita akhir-akhir ini terbilang cukup melelahkan. Mengapa bisa demikian, jika kita menggunakan pandangan Edwar Sallis (2010), dunia pendidikam kita melelahkan karena selama berpuluh-puluh tahun perhatian pendidikan hanya berpusat pada beberapa aspek saja, dengan dalih guna meningkatkan mutu pendidikan yang lebih baik. Diantara aspek yang dibahas yaitu:
Pertama, perbaikan secara terus menerus (continuous improvement), ini merupakan bentuk upaya yang dilakukan guna menjamin semua komponen pendidikan mengajar sesuai standar mutu yang berlaku. Apa dampak yang ditumbulkan dalam pelaksanaan ini, padahal kita anggap ini merupakan sesuatu yang baik dilakukan, ternyata tidak kita sadari bahwa dampak dari pelaksanaan yang terlalu berebihan mengakibatkan isntitusi pendidikan selalu terdorong untuk memperbaharui proses demi tuntutan dan kebutuhan "si pelanggan," sehingga hal ini memunculkan sentilan bahwa "ganti pejabat, ganti kebijakan," dan lain sebagainya.
Kedua, sebagaimana disebutkan sebelumnya di paragraf pembuka bahwa kita hanya menentukan standar mutu (quality assurance), beberapa hal sering dilakukan guna mewujudkan dalih yang katanya peningkatan mutu tersebut, diantaranya yaitu terus menetapkan standar mutu kurikulum, evaluasi dengan melaksanakan ujian, pelaksaan proses belajar yang banyak syarat ini dan itu. Hal ini akan berdampak pada terciptanya kompetisi baik itu sehat atau tidak sehat, memunculkan paradigma kompetitif guna mengejar mutu tersebut, persis halnya sekolah semacam perusahaan yang harus terus mengejar sertifikat ISO atau lain sebagainya.
Selanjutnya adalah selalu melakukan perubahan organisasi, saya ingat betul ketika sekolah, seorang kepala sekolah terus mengalami pergantian, tidak terbilang setahun sekali namun sering, belum lagi organisasi lainnya yang terus berubah-ubah, sama halnya istilah di atas seolah institusi pendidikan mengalami pergeseran menjadi semmi-perusahaan.
Terakhir yaitu beban satuan pendidikan sebagai agen perubahan kultur atau agent of cultural change, di mana sekolah di tuntut harus mampu membentuk budaya organisasi yang antara lain menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasi.
Saya kira memang terlihat sangat bagus ketika ada sekolah yang mampu menerapkan itu, tetapi ketika tuntutan ini menjadi sebuah keharusan yang sangat ditekankan, tentu akan berdampak negatif, bagaimana tidak jika misalkan dalam satu sekolah mereka tidak bisa mewujudkan apa yang seharusnya menjadi tujuan.
Tentu berasumsi bahwa banyak cara akan mereka akali guna semuanya itu dapat terpenuhi, apalagi sampai terdapat ancaman ini dan itu, serasa satuan pendidikan pangkalan militer dan perusahaan dibuatnya, sangat menyeramkan apabila semua data hasil belajar direkayasa, sehingga laporan yang sebenarnya bisa saja dipalsukan. Bukan maksud menuduh, tetapi ini adalah bentuk kekhawatiran saja terkait sangat melelahkannya tuntutan yang ada pada lembaga pendidikan.
Masih banyak hal yang belum sampai diutarakan di sini, namun dari catatan ini saya hanya ingin mengingatkan kembali budaya sehat dan menyenangkan dari pendidikan itu sendiri perlu untuk dibangun dan diciptakan, agar tujuan dari mencerdaskan kehidupan bangsa yang sudah tertera dengan sangat jelas dapat terwujud.
Selain itu kesejahteraan para penyelenggara pendidikan dapat menikmati prosesnya sebagaimana mestinya tanpa ada tuntutan dan tekanan apapun, karena kita sama-sama ketahui bahwa syarat dari istilah "Siap dalam menghadapi tekanan" itu hanya ada dalam dunia perusahaan bukan di dunia pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H