Mohon tunggu...
Hamzah Nasution
Hamzah Nasution Mohon Tunggu... Editor - Wiraswasta

Pemerhati Sosial Politik

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Data BPS: 4,7 Juta Warga Jakarta Ngekos dan Ngontrak

18 Februari 2017   20:16 Diperbarui: 18 Februari 2017   20:51 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dengan tingkat kepadatang 15.328 jiwa per km2, Jakarta menghadapi problem perumahan yang akut| sumber : print.kompas.com

Jika budaya tinggal dirumah tapak bisa diganti dengan opsi rasional bermukim di apartemen, angka keluarga yang tidak punya hunian sendiri bisa dikurangi secara signifikan dengan menjamurnya hunian vertikal. Bahkan yang masuk ke dalam skema subsidi seperti rumah susun milik pribadi (rusunami), kita sebut saja apartemen agar lebih bergengsi.

Kelima, Menggantungkan Hidup pada Ortu

Ini juga satu masalah nyata. Banyak anak muda yang dependen alias bergantung pada orang tua. Apalagi jika ortu mereka punya satu atau dua rumah, maka tidak muncul usaha untuk memiliki rumah sendiri. Jika kemudian keluarga mengalami musibah ‘kehilangan rumah’ dengan berbagai sebab, maka anak-anak mami ini pun menambah statistik penduduk homeless.

SOLUSI

Intervensi Pemerintah Harus Lebih Dalam

Bentuk intervensi tersebut dengan memudahkan persyaratan pembelian rumah. Misalnya dengan uang muka (DP) nol rupiah dan jangka waktu cicilan hingga 25 tahun. Pelonggaran tersebut tentu saja disertai dengan perhitungan risiko yang bersifat individual.

Misalnya si A yang berusia 22 tahun disetujui menyicil rumah dengan tenor 25 tahun, selain usia masih muda dan produktif, juga memperhatikan profile penghasilan bulanan.

Yang pasti, pemerintah BERKEWAJIBAN memenuhi hak perumahan rakyat. Kewajiban tersebut entah dilaksanakan sendiri dengan program pembangunan rumah subsidi dari APBN/APBD maupun dengan kerjasama dengan developer swasta melalui pemotongan berbagai biaya sehingga berdampak pada penurunan harga hunian.

Mengubah Kebiasaan Tinggal di Rumah Tapak dan Beralih ke Apartemen

Solusi kedua ada pada masyarakat sendiri, yakni mau beradaptasi dengan budaya tinggal di hunian vertikal. Seperti dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch IPW, Ali Tranghada, bahwa 10 tahun kedepan apartemen menjadi hunian wajib. Suka atau tidak suka. Trend hunia vertikal ini dipengaruhi oleh faktor kian melambungnya harga rumah tapak yang telah di jelaskan di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun