Beberapa hari belakangan, warganet, terutama di media sosial riuh memperdebatkan uang muka (DP) pembelian rumah 0% atau 0 rupiah yang jadi program paslon Cagub DKI Anies-Sandi. Banyak yang menyangsikan ihwal realistis tidaknya janji kampanye tersebut. Media bahkan mengkonfrontasi ke Bank Indonesia mengenai bisa tidaknya program itu dilaksanakan.
Tak urung, Gubernur BI Agus Martowardojo angkat bicara. Membeli rumah tanpa uang muka menyalahi aturan otoritas, terang Agus seperti diwartakan oleh kumparan.com. namun, sejumlah pendukung Anies-Sandi membantah bahwa program rumah 0 rupiah itu menyalahi aturan.
Mereka berargumentasi bahwa Pada pasal 17 Bagian Ketujuh PBI No.18/16/PBI/2016 tentang Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, tercantum pengecualian untuk penurunan DP 15% yang diatur secara umum. Disitu disebutkan bahwa Program Perumahan Pemerintah dapat dikecualikan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan.
Pendukung Anies-Sandi juga menyitir pendapat Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja yang mengatakan jika usulan DP KPR 0 persen bisa saja diberlakukan di bank milik pemerintah seperti Bank DKI, namun tidak bisa diterapkan di bank komersial. Pendapat senada disampaikan Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Haru Kusumahargo bahwa program tersebut sangat mungkin dan bahkan telah diberlakukan dengan menggunakan skema jual beli syariah.
Terlepas dari perdebatan sengit antara antara dua belah pihak yang pro dan kontra, fakta statistik membenarkan jika wraga DKI memang butuh rumah murah dan terjangkau. Diberitakan oleh Okezone.com, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hanya 51,09 persen keluarga di DKI yang tinggal di rumah milik sendiri. Artinya ada 4,7 juta jiwa penduduk DKI yang ngontrak, ngekos atau tunawisma (total penduduk DKI saat ini 9,6 juta jiwa). Sebagai perbandingan, di tingkat nasional angka kepemilikan rumah mencapai 82,63 persen.
Ada banyak alasan mengapa rumah yang merupakan basic needs, terlebih di kota metropolitan macam Jakarta, berubah menjadi barang lux.
Pertama, Lahan Semakin Sempit
Sudah bukan rahasia lagi, Jakarta merupakan kota super crowded di Indonesia. Menyitir data yang dipublikasikan BPS tahun 2016, tingkat kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 15.328 jiwa per km2. Kepadatan itu rasio lahan dan manusia, belum termasuk dengan keberadaan gedung-gedung, hunian ilegal, perilaku parkir maupun menjajakan dagangan secara liar yang berkonsekuensi pada penyempitan lahan dan ruang gerak.
Dengan berbagai faktor yang berakibat pada penyempitan lahan, maka mendirikan hunian menjadi hal yang sulit di Jakarta. Tampaklah pemandangan yang tak karuan kehidupan di gang-gang. Tengok saja di kawasan Pademangan, Jakarta Utara atau di kawasan Pasar Burung Jakarta Timur, tak ada lagi opsi mendirikan bangunan baru karena persoalan lahan tersebut. Karena bahkan lahan parkir pun, harus rebutan dengan pejalan kaki dan akses lalu lalang kendaraan.
Kedua, Harga Hunian Tinggi
Konsekuensi logis dari lahan yang langka tentu saja pada harga properti. Di beberapa kawasan perkantoran dan sentra ekonomi, harga lahan sudah mencapai ratusan juta rupiah. Seperti lahan kosong di SCBD Jl. Sudirman yang dipatok pada harga Rp 200 juta permeter.
Lalu bagaimana lahan di kawasan hunian? Sama saja, mahal juga. Di Jakarta barat tergolong masih murah. Dipublikasikan oleh Rumahku.com pada tahun 2015, lahan di Kamal dijual Rp 6,5 juta per meter. Sementara di Srengseng, Rp 6 juta per meter dan di Meruya Utara, Rp 6,5 juta per meter. Itu berupa tanah kosong 2 tahun yang lalu. Saat ini tentu harganya sudah mengalami kenaikan.
Di situs-situ jual beli properti, kita dapat melihat bahwa rumah paling murah di Jakarta dijual di kisaran harga Rp 200 juta. Tapi itu rumah petak ala kos-kosan di gang sempit.
Ketiga, KPR Sulit
Meskipun lembaga keuangan memburu nasabah untuk dikucuri pinjaman, tetap saja mereka memiliki sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Terutama soal gaji atau pendapatan bulanan yang menggambarkan kemampuan membayar cicilan.
Jika pendapatan bulanan pas-pasan, maka sudah pasti tertolak ketika mengajukan KPR. Hal
Sulitnya mengurus KPR ini menjadi satu faktor penghambat mengapa memiliki rumah menjadi tidak mudah.
Keempat, Budaya Tinggal di Rumah Tapak
Hunian bagi orang Indonesia adalah tinggal di rumah. Yang dimaksud dengan rumah oleh kebanyakan masyarakat kita, ya ada halaman atau pekarangan dan cuma dihuni satu keluarga dalam satu bangunan.
Karena pandangan tersebut, banyak yang belum bisa beradaptasi dan mengubah cara pandang bahwa tinggal di apartemen menjadi solusi praktis di tengah kenaikan harga property yang gila-gilaan. Padahal, apartemen sudah jadi tren di kota-kota metropolitan di negara-negara maju macam di Tokyo, Hongkong, Prancis, London atau New York.
Padahal sebetulnya di Jakarta dan kota penyangga sekitarnya, masih ada hunian di bawah harga RP 200 Juta yaitu apartemen tipe studio. Seperti apartemen Podomoro Golf View yang dijual Ro 198 juta (harga tahun 2016) untuk tipe studio. Apartemen murah berkonsep superblok ini berada persis di samping stasiun LRT Cimanggis yang sedang dibangun dan oleh Presiden Jokowi ditarget selesai tahun depan.Â
Segmen pasar yang menjadi target apartemen ini adalah keluarga dan profesional muda. Umumnya, mereka merupakan penglaju yang bermukim di kawasan Bogor, Bekasi, dan sekitarnya yang menghabiskan banyak dana untuk ongkos transportasi bolak balik ke tempat kerja di Jakarta. Dengan konsep transit oriented development (TOD), Podomoro Golf View yang masuk program sejuta rumah menjadi solusi pemukiman di DKI.
Jika budaya tinggal dirumah tapak bisa diganti dengan opsi rasional bermukim di apartemen, angka keluarga yang tidak punya hunian sendiri bisa dikurangi secara signifikan dengan menjamurnya hunian vertikal. Bahkan yang masuk ke dalam skema subsidi seperti rumah susun milik pribadi (rusunami), kita sebut saja apartemen agar lebih bergengsi.
Kelima, Menggantungkan Hidup pada Ortu
Ini juga satu masalah nyata. Banyak anak muda yang dependen alias bergantung pada orang tua. Apalagi jika ortu mereka punya satu atau dua rumah, maka tidak muncul usaha untuk memiliki rumah sendiri. Jika kemudian keluarga mengalami musibah ‘kehilangan rumah’ dengan berbagai sebab, maka anak-anak mami ini pun menambah statistik penduduk homeless.
SOLUSI
Intervensi Pemerintah Harus Lebih Dalam
Bentuk intervensi tersebut dengan memudahkan persyaratan pembelian rumah. Misalnya dengan uang muka (DP) nol rupiah dan jangka waktu cicilan hingga 25 tahun. Pelonggaran tersebut tentu saja disertai dengan perhitungan risiko yang bersifat individual.
Misalnya si A yang berusia 22 tahun disetujui menyicil rumah dengan tenor 25 tahun, selain usia masih muda dan produktif, juga memperhatikan profile penghasilan bulanan.
Yang pasti, pemerintah BERKEWAJIBAN memenuhi hak perumahan rakyat. Kewajiban tersebut entah dilaksanakan sendiri dengan program pembangunan rumah subsidi dari APBN/APBD maupun dengan kerjasama dengan developer swasta melalui pemotongan berbagai biaya sehingga berdampak pada penurunan harga hunian.
Mengubah Kebiasaan Tinggal di Rumah Tapak dan Beralih ke Apartemen
Solusi kedua ada pada masyarakat sendiri, yakni mau beradaptasi dengan budaya tinggal di hunian vertikal. Seperti dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch IPW, Ali Tranghada, bahwa 10 tahun kedepan apartemen menjadi hunian wajib. Suka atau tidak suka. Trend hunia vertikal ini dipengaruhi oleh faktor kian melambungnya harga rumah tapak yang telah di jelaskan di atas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI