Sentralisme ekstrim mengacu pada sistem pemerintahan atau manajemen yang memberikan wewenang dan kontrol yang sangat besar kepada pusat atau otoritas sentral. Dalam konteks politik, ekonomi, atau administratif, sentralisme ekstrim menempatkan kekuasaan dan pengambilan keputusan pada tingkat pemerintah pusat atau lembaga pusat dengan keterlibatan yang minimal atau bahkan tanpa keterlibatan daerah atau unit otonom.
Salah satu tokoh penting yang menjadi sorotan dalam sejarah ini adalah Taufik Abdullah, seorang intelektual yang turut menyaksikan lahirnya dan runtuhnya sentralisme ekstrim. Ideologis Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang lahir setelah era kolonialisme Belanda membawa pemahaman sejarah yang terkadang mitis. Revolusi nasional dipandang sebagai pemutus kontinuitas kedua zaman, tetapi juga sebagai mitos-purba yang membentuk pandangan tentang sejarah bangsa.
Pulau Jawa, dengan peran sentralnya, menjadi pusat perluasan kekuasaan dan pemerintahan sejak awal kolonial. Eksploitasi ekonomi kapitalistik secara bertahap terpusat di luar Jawa, khususnya Sumatera dan Kalimantan, dengan hasil ekspor yang mendukung kemakmuran negeri kolonial, Belanda. Pada zaman Jepang dan revolusi nasional membawa perubahan dramatis. Infrastruktur hancur, masyarakat mengalami kemiskinan, dan pusat pemerintahan harus meratakan kemakmuran ke seluruh wilayah. Namun, kemampuan Jawa untuk menghidupi dirinya terkuras, memunculkan ketidakpuasan di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.
Lalu pada pemilihan umum tahun 1955, dianggap sebagai momen demokratis, tidak mampu menyelesaikan ketidakstabilan politik. Muncul ketidaksetaraan antara Jawa dan "luar Jawa." Masyarakat di luar Jawa merasa tertinggal, sementara pusat disibukkan dengan politik partai dan upaya mempertahankan diri dari oposisi. Krisis politik dan rasionalisasi militer memunculkan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera Barat dan Minahasa. Konflik ini, meskipun gagal menggantikan rezim Jakarta, mempercepat lahirnya Demokrasi Terpimpin pada 1959.
Demokrasi Terpimpin dan krisis keuangan menciptakan konteks bagi Orde Baru. Dengan retorika "Orde Lama," Orde Baru di bawah Soekarno memperkenalkan Demokrasi Terpimpin yang menandakan kekuasaan otoriter. Orde Baru di bawah Soeharto membawa perubahan ekonomi dengan memasuki pasar global. Meskipun berhasil dalam pembangunan ekonomi, sistem sentralistik dan uniformitas desa menghasilkan ketergantungan total daerah pada pusat, dengan dampak pada pelemahan masyarakat dan kemunculan konflik internal.
Krisis moneter dan gerakan reformasi membawa kejatuhan Orde Baru. Beberapa daerah seperti Aceh dan Papua menyuarakan ketidakpuasan terhadap pembagian sumber daya pembangunan. Ketika Orde Baru tumbang, konflik separatis di Aceh dan Papua semakin mencuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H