Mohon tunggu...
Hamzah Jamaludin
Hamzah Jamaludin Mohon Tunggu... Penulis - Hiduplah seperti yang engkau kehendaki, mencintailah selama engkau merasakan.

Tertarik dengan Ilmu Sosial dan Sastra, Senang Mendaki Gunung.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa yang ditakuti dari kritik?

18 Februari 2021   18:16 Diperbarui: 18 Februari 2021   19:31 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari lalu pernyataan presiden Jokowi tentang pemerintah membutuhkan kritik disampaikan dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI menuai beragam macam reaksi dari pelbagai pihak.

Dewasa ini, mendengar istilah kritik dalam dinamika kehidupan merupakan hal yang sangat lumrah terjadi, apalagi berkaitan dengan politik yang tidak terlepesan dengan pelbagai kritik masuk. Kritik mempunyai tafsir beragam namun dari sudut mana kritik itu dipersepsikan.

menarik sebetulnya di tengah peringkat demokrasi bangsa Indonesia yang diliris akhir-akhir ini oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Laporan tersebut menyatakan bahwa indeks demokrasi Indonesia berada pada peringkat ke 64 dunia tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina bahkan Timor Leste.

sungguh sangat mengiris hati di tengah berbagai hiruk pikuk catatan buruk bangsa ini, kasus korupsi dana bantuan tunai untuk warga yang terdampak covid-19, kriminalisasi berbagai warga sipil yang terjadi. 

Tentunya bukan tanpa alasan peringkat tersebut disematkan meliputi wajah demokrasi saat ini, kebebasan kritik dibungkam, keleluasaan masyarakat menyampaikan aspirasi tersumpat, aspirasi berupa wujud demo diperlakukan tidak manusiawi, alih-alih memperbolehkan aspirasi untuk masyarakat negara seakan menutup mata dan telinga.

krisis demokrasi ini tidak terlepas pelbagai macam intimidasi yang terjadi terhadap warga sipil, dikerahkanya alat negara untuk memberendel pelbagai hal yang bersebrangan para akademisi, mahasiswa diintimidasi saat melakukan diskusi ilmiah, seolah haknya sebagai kaum perubahan dikebiri dalam menyampaikan haknya.

Ada yang lebih parah lagi yang menampar wajah demokrasi, terkadang kritik yang dilontarkan masyarakat sipil lewat media digital sering menjadi bahan kriminilisasi, jelas-jelas tendensi kalimatnya berupa wujud narasi membangun bukan atas penghujatan, pengujaran kebencian atau dasar memecah belah bangsa.


Sungguh menjadi ironi untuk wajah demokrasi saat ini. Sepatutnya fenomena semacam ini tidak harus terjadi di negara yang mengedepankan demokrasi.

Pemimpin harus sensitif terhadap aspirasi rakyat, ketika rakyat berani mengutarakan kritik hal ini menandakan bahwa rakyat butuh diperhatikan dan sudah sepatutnya tugas pemerintah mendengarkan bukan ditikam dengan ketakutan jeruji besi.


Kita tidak bisa terkung-kung dengan ketakutan, aspirasi merupakan gizi bagi pemerintah, tugas pemerintah menjamin dan melindungi warganya mengemukan pendapat di muka publik, jangan hanya berani menuturkan kalimat yang tendensinya mengandung kecemasan, alih-alih malah menampakkan wajah kepemimpinan  seperti otoritarianisme.

Kritik terlontar,  uuite menanti?
Memang benar kritik dibolehkan saja tanpa muluk-muluk namun perlu diingat bahwa keengganan masyarakat akhir-akhir ini berani melontarkan kritik baik secara langsung maupun lewat media digital merasa was-was karena ketika apa yang meraka ucapkan takut dibenturkan dengan uuite, tentu paradoks ini menjadi romansa,pemerintah butuh kritik dilain pihak uuite siap menjerat. 

Betapa paniknya negara menyumpat para pengkritisi sehingga tentu cek and balance ini takan pernah bisa seimbang, implikasinya tentu negara merasa arogan terhadap kritik. Menarik sebetulnya kita menjadi teringan tentang cerita dalam novel karangan Orwell 1980 yang menjelaskan situasinya seperti sama apa yang kita alami akhir-akhir. Tentu dalam benak kita sekarang menjadi pertanyaan mengapa negara harus takut dengan kritik? Mengapa negara merasa alergi dengan kritik?

Kita lihat saja beberapa kasus yang kontra terhadap pemerintah, warga sipil menyuarakan aspirasinya di media digital langsung serang habis-habisan dan dintimidasi oleh para buzzer. Apakah ini yang disebut negara demokrasi? Percakapan publik semacam ini tentu akan mengancam hak-hak manusia, tanpa harus menodongkan senjatapun warga enggan berani kritik saja sudah dipastikan terbunuh.

Biarkan kritik itu pedas

biarkan saja kritik itu pedas menghujami pemerintah, sejatinya pemerintah merupakan tempat aspirasi yang kesiapanya 24 jam dikritisi masyarakatnya, pemerintah harus selalu siap dengan kritik masyarakatnya jangan mau menyumpat setiap para pengkritisi.

Sungguh akan sangat memalukan jika tindakan kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakatnya yang berani melakukan kritik terhadap pemerintah dihantam oleh pelbagai pasal dengan delik bermacam.

Kemerdekaan berpikir manusia menuntunnya terhadap modernitas, modernitas tersebut memberikan ruang-ruang diskursus apalagi di saat ini dengan adanya ruang teknologi digital memudahkan masyarakat untuk berdialog, salahsatunya aspirasi yang tersalur lewat berbagai media massa.

Refleksi dan renungkan kembali

Pada intinya pemerintah harus merenung, pejabat-pejabat negara jangan terlalu cengeng dengan pelbagai kritik, negara harus berani bercermin melihat lebih dalam terhadap dirinya apakah sudah sejalan atau belum terkait dengan kebebasan mengutarakan pendapat.

negara harus dewasa menerima setiap kritik, negara harus berani menyadari, wujudkan kembali keseimbang demokrasi agar keengganan masyarakat kontemporer hari ini tidak merasa cemas ketika mengutarakan pendapat terhadap segala kebijakan pemerintah, sekalipun kritik itu pedas.

Mari kita belajar tidak ada lagi ruang-ruang yang berjarak jauh antara pemerintah dan masyarakatnta, antara telinga pemerintah dan aspirasi warganya, pemerintah harus legowo karena sepedas apapun kritik tendensinya tetap masyarakat tidak ingin melihat negaranya kacau.

Negara hebat butuh kritik, negara maju karena tidak terlepas ada keseimbangan di dalam yang memberikan asupan gizi yaitu berupa narasi-narasi yang mampu membangkitkan roda pemerintahan ini demi menyongsong Indonesia maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun