Bagi Pak Amirul, pernyataan-pernyataan Pak Prabowo menggambarkan sosok negarawan, sosok ideal seorang calon Presiden yang memang seharusnya berbicara dalam ranah konseptual global tentang kenegaraan, seperti tujuan bernegara, bagaimana negara memperlakukan landasan konstitusional dan idiil, serta regulasi apiknya pada sebuah negara. “tidak pada hal-hal spesifik yang seolah-olah memposisikan diri hanya sebagai kepala wilayah, setingkat Lurah dan Camat. Makanya Pak Jokowi berbicara seperti adalah hal yang sangat lumrah, sebab beliau memiliki pengalaman sebagai Walikota Solo, dan juga sebagai Gubernur DKI. Itu ilmu yang standar soal pemerintahan di lapis menengah, dan semua kepala daerah bisa berbicara seperti itu,” katanya.
Tetapi Pak Amirul mengakui jika Pak Jokowi punya takdir yang hebat. Ia tokoh yang sangat beruntung di publikasi media massa secara besar-besaran. Seolah-olah, Indonesia baru memiliki kepala daerah pekerja keras, masuk got, hingga blusukan. “Padahal saya mencermati Presiden SBY itu setiap berkunjung ke daerah-daerah, selalu menyempatkan diri makan bersama dengan rakyat, tetapi kurang publikasi media,” katanya sembari memberi saran kepada Mas Sugiono (staf Pak Prabowo yang kebetulan duduk sederet dengannya) untuk rajin mempublikasi hal-hal humanis Pak Prabowo, juga Hatta, sebab menurut Pak Amirul, Prabowo-Hatta kurang terpublikasi di media massa sebagai negarawan yang ulung, yang mampu menjawab tantangan sebuah bangsa.
Saya membaca pikiran Pak Amirul, seolah-olah ada pergulatan pemikiran antara takdir seorang Pak Jokowi yang kini mampu menjadi Capres RI dan pengalamannya sebagai kepala daerah. “Tetapi itu manusiawi, bisa saja terjadi pada semua orang, dan kita harus angkat jempol buat Pak Jokowi soal popularitas itu,” timpal Pak Amirul.
Hanya satu yang mengganjal dalam pikiran Pak Amirul adalah tentang Politik Anggaran yang diungkap Pak Jokowi. Menurutnya, hal itu bisa mengancam diisintegrasi bangsa, jika daerah-daerah ‘diancam’ dengan pengalokasian dana alokasi khusus (DAK) yang terbatas oleh pemerintah pusat, jika tidak tunduk dengan kebijakan pusat. “Itu bukan pernyataan yang bijak seorang calon kepala negara, mungkin masih banyak cara lain yang bisa di tempuh, dan bahaya sekali jika ada ancaman pembatasan DAK itu sebagai alat ‘penunduk’ daerah. Semoga ini hanya persepsi sederhana saja dari seorang Capres,” tukas Pak Amirul.
Sebagai mantan walikota layaknya Pak Jokowi, Pak Amirul juga secara kritis mendiskusikan sistem pelayanan ‘satu pintu’, menurutnya ada ekses negatif bisa timbul di sana, yakni akan menimbulkan posisi itu hanya dinikmati segelintir orang. tetapi Pak Amirul bisa menangkap pikiran Pak Jokowi, bahwa sistem pelayanan satu pintu lebih fokus pada sistem kemudahan mengontorl atau mengawasi.
[caption id="attachment_341665" align="aligncenter" width="465" caption="Jenderal TNI (Purn) Joko Santoso, mantan Panglima TNI (foto : net)"]
[caption id="attachment_341667" align="aligncenter" width="576" caption="Dr. Amirul Tamim, mantan Walikota baubau-sulawesi tenggara (foto-desain : pribadi)"]
Lalu bagaimana pandangannya tentang sosok Pak Jusuf Kalla. Pak Amirul angkat topi, kelasnya adalah kelas negarawan, cara berkomunikasinya juga menujukkan kelenturan dalam memahami kondisi bangsa. Meski pernyataan ‘memancing’ Pak Prabowo dengan masalah HAM, eloknya tidak dipertontonkan seorang tokoh sekelas JK. “Apapun itu, kita bisa melihat kualitas seseorang dalam debat ini, apakah ia negarawan murni atau seorang manajer. Hanya terkadang publik terjebak pada hal-hal yang mudah dipahaminya, sehingga selalu mencari hal-hal standar dalam memahami sebuah konsepsi kenegaraan, padahal tidak sesederhana itu, kita masih perlu pencerdasan politik kepada warga Indonesia”, sarannya.
Tak kalah geregetnya, mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) H. Joko Santoso, ia lebih fokus membedah ‘kekuatan’ negarawan seorang Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. “Soal Pak Prabowo, saya paham betul kualitas kenegarawanannnya, nasionalisnya, dan cita-cita luhurnya pada bangsa dan negara ini, sebab saya pernah menjadi wakil beliau di TNI. Yang pastinya, paketnya dengan Pak Hatta Rajasa itu sangat klop. Pak Hatta cerdas dalam mengisi konseptual yang tidak diungkap Pak Prabowo,” kata Jenderal bintang empat ini tenang.
Hanya memang, menurut Pak Joko Santoso debat Capres-cawapres ini secara keseluruhan, moderator tidak mampu membongkar ‘ilmu kenegaraan’ dari dua pasangan. “Seolah-olah hanya panggung ujian seorang guru kepada muridnya. unntungnya ada sesi ke-enam yang membuka ruang kepada kedua pasangan ini untuk berstatemen tentang kebangsaan. Dan saya secara pribadi menilai, jika ini milik pasangan Prabowo-Hatta. Karena yang dibutuhkan disini adalah kerangka konstitusi bernegara. Yang mau dibangun disini bukan daerah tertentu, tetapi negara besar bernama Republik Indonesia,” kata Jenderal Joko Santoso.
Pak Joko Santoso juga tampak terganggu ketika Pak Jokowi mengulang mempertanyakan komitmen kebangasaan dan prilaku diskriminatif pemerintahan yang sudah diungkap Pak Prabowo. “Udah gamblang kok, Pak Prabowo mencontohkan posisi Wagub DKI Ahok yang menjadi pasangan Jokowi, itu simbol sekaligus jawaban Pak Prabowo soal pluralisme di Indonesia. kok pertanyaannya diulang lagi,” cetus Pak Joko.
Tetapi apapun itu, Jenderal Joko Santoso mengagumi kemampuan para calon Wapres kedua pasangan ini. “Cukup baik dan cukup berkualitas. sebab keduanya bisa mengisi ruang-ruang yang tidak disebutkan oleh masing-masing Capres,” tandasnya.