Hari ini umat islam tengah disibukan oleh polemik perdebatan terkait hukum dalam muamalah beragama, baik ibadah maupun sosial. Masing-masing orang, golongan, atau ormas berusaha memaparkan argumentasi terbaik mereka terkait hukum-hukum tersebut untuk berdiskusi mencari jawaban pastinya.Â
Namun sampai saat ini, tidak sedikit muara perdebatan yang tak kunjung diemukan. Apalagi di era teknologi informasi seperti saat ini, setiap orang bebas saja mengemukakan pendapatnya di khalayak luas, dari mulai pendabat yang berkualitas sampai yang tidak berdasar pun dapat ditemukan dengan mudah. Hal ini tentu sangat beresiko bagi orang yang tidak memahami ilmu islam secara luas sehingga khawatir terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan kekeliruan paham nya.
Lantas bagaimana agar kita tidak terperosok pada pemahaman yang salah dalam beragama dan dapat ber-islam secara kaffah (menyeluruh) di era sekarang?
Dalam agama islam, dasar yang digunakan untuk menemukan hukum-hukum berkehidupan beragama akan dirujuk pada dua hal, yaitu Al-Qur'an dan Hadist. Tentunya mengambil kesimpulan suatu hukum dari Al-Qur'an dan Hadist harus berdasarkan metode dan ilmu yang telah diajarkan oleh para ulama mulai dari era sahabat sampai sekarang.
Pada kesempatan kali ini, penulis rasa kita perlu untuk memahami walaupun sedikit cara agar selektif dalam menerima informasi keagamaan yang beredar di media sosial berlandaskan Al-Qur'an dan Hadist. Penulis akan terlebih dahulu memaparkan metode sederhana dalam menganalisis suatu hadist, agar hadist yang kita ambil merupakan hadist yang teruji keontetikannya sehingga layak dijadikan hujjah (landasan) beragama.
- Mengenal Perawi Hadist
Perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan hadist dari satu orang ke orang lainnya. Salah satu aspek supaya suatu hadist dapat dipercaya serta di yakini kebenarannya adalah yang Perawinya pun memenuhi kriteria sebagai orang yang terpercaya, taat pada moral dan norma-norma dalam agama islam, serta terjamin integritas moral dan kapabilitas intelektualnya.
Berintegritas moral maksudnya memiliki konsistensi serta kejujuran dalam bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang dipegangnya, bahkan ketika tidak ada yang memantau atau memberikan pengawasan. Sedangkan berkapabilitas intelektual adalah mereka yang memiliki intelektual yang tinggi, dapat berpikir kritis serta wawasan yang luas ilmu umum dan agamanya.
- Garis Sanad
Sanad adalah istilah dalam bahasa Arab yang secara harfiah berarti "rantai" atau "sambungan". Dalam konteks ulumul hadist, "sanad" merujuk pada daftar nama-nama perawi yang mengalami transmisi lisan dari generasi ke generasi berikutnya hingga Nabi Muhammad . Hadist yang otentik dan layak dijadikan hujjah adalah hadist yang sanad nya tersambung, tidak terputus.
Dengan mempelajari sanad suatu hadist, kita dapat menelusuri jalur transmisi suatu hadist yang didalamnya akan terkandung pengetahuan hukum-hukum dalam islam, sehingga kita yakin betul bahwa hadist yang sampai ditelinga kita adalah benar disampaikan juga oleh Rasulullah .
- Keselarasan Norma Al-Qur'an
Setelah memastikan Perawi sesuai dengan kriteria idealnya dan garis Sanad teridentifikasi tidak ada kecacatan, maka sampailah pada metode terakhir yaitu menyelaraskan matan (isi) hadist tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma yang terkandung dalam Al-Qur'an.
Sebagai utusan Tuhan (Allah), tentunya Nabi Muhammad tidak mungkin mengatakan sesuatu atau membuat pernyataan yang akan bertentangan dengan Al-Qur'an. Jika teridentifikasi ada hadist yang kandungannya justru menyelisihi Al-Qur'an maka yang harus dipertanyakan adalah keontetikan hadist tersebut, apakah betul keluar dari mulut mulia Rasulullah ataukah merupakan karangan dari seseorang yang ingin mengambil keuntungan dengan menjual nama Rasulullah sebagai jaminan.
Karena kebenaran Al-Quran telah berkali-kali Allah jamin dan mustahil terdapat cacat jika Allah jaminannya, maka Al-Qur'an lah yang menjadi neraca terakhir kita dalam menganalisis suatu hadist untuk diamalkan kandungannya.
Itulah metode yang juga digunakan oleh para ulama-ulama terdahulu dalam menganalisis suatu hadist dalam menguji keontetikannya. Terlepas dari kesalahpahaman atau kekeliruan dalam memahami hadist, yang perlu kita lakukan adalah berupaya maksimal mencari kebenaran yang sesungguhnya, dengan terus belajar dan belajar. Setiap orang tentu bebas mengemukakan pendapatnya, namun sebaik-baiknya pendapat adalah yang berdasar dan dapat dipertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah Azza Wa Jalla. Semoga Allah senantiasa meridhoi niat baik kita, Aamiiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H