Dalam renungan saya bahwa saat ini Negara dunia ketiga berbondong-bondong mengiblatkan dirinya kepada Barat dalam segala bidang. Dari situlah muncul beberapa gagasan seperti Globalisasi, pasar bebas dll. Masuknya konsep State sebagai sebuah konsep Negara dalam pandangan saya merupakan sebuah kepanjangan tangan dari sebuah rezim kolonialisme. Bahkan asumsi saya pribadi konsep ini salah satu bentuk upaya masuknya imperialism dalam skala yang lebih luas. Momentum Indonesia merdeka ialah penting sebagai upaya mengembalian kepada jati diri bangsa yang sebenarnya sudah tua dan memiliki pencapaian peradaban yang tidak sepele.
Bahwa daya jangkau pengetahuan kita terhadap bangsa sendiri sanga minim dan miskin data namun sesungguhnya bangsa Barat terutama Belanda mengehatui betul bagaimana bangsa Nusantara zaman dahulu dari literature-literatur kuno yang berhasil mereka terjemahkan. Namun yang terjadi saat ini yang terjadi ialah kemunduran-kemunduran nilai dalam dampak kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang ditengarai dengan silang sengkarutnya politik, ekonomi, pendidikan dll.
Muncul pertanyaan kemudian, lantas dimana muaranya permasalahan kompleks tersebut? Tentu ini masih perlu pendalaman-pendalaman materi dan cakupan riset yang luas. Dalam kalangan ilmuan sosial era seperti ini ialah era post-modern. Bahwa dalam pandangan mereka modernism telah gagal. Postmodernis meletakkan dasar kritis terhadap budaya dan tradisi modern dengan corak dekonstruksi nilai dalam beberapa bidang terutama kajian leteratus sastra. Mengapa sastra? Sastra sebagai leteratur saat ini dipandang memiliki efek atau pengaruh yang luas dan bermuatan hegemonic. Seperti contoh pada era media, saat ini hampir semua informasi yang bertebaran dalam berbagai media digiring kepada sebuah pembentukan wacana-wacana. Dekontrusi inilah yang mendobrak wacana-wacana tersebut.
Yang terjadi saat ini apa yang dikenal dengan “rasionalisasi” segala bidang kehidupan sangat berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap umat manusia. Arus pemikiran dengan corak seperti ini sangat mengagungkan akal sebagai daya motor penggerak peradaban umat manusia. itu tidak sepenuhnya buruk juga tidak sepenuhnya baik. Namun hemat saya, bahwa Barat memiliki keunggulan pada dimensi teknologi eksternal, yakni meliputi penemuan-penemuan alat hingga lahirnya berbagai macam teknologi yang memudahkan manusia melakukan pekerjaanya.
Namun perlu diingat pula bahwa salah satu pencapaian tertinggi bangsa Nusantara ialah teknologi internal yang lekat dengan teknologisasi batin. Teknologi internal ini memang tidak bersifat materil atau kasat mata, namun berpengaruh kedalam sebuah bangunan sistem nilai kokoh. Kedalaman pikir mengenai pencapaian peradaban inilah kedepan dalam hemat saya sangat penting untuk mendapat tempat yang lebih serius. Bahwa filsafat sanga penting sebagai upaya penemuan-penemuan yang baru dan inovatif namun juga perlu pendekatan-pendekatan integrative kepada beberapa teknik dan metode keilmuan Nusantara.
Mundur ke masa depan ini berangkat dari inspirasi sebuah tema diskusi di pati. Dalam penjelasannya bahwa mundur ke depan ialah ibaarat kita menghadapi masa depan. Kita seolah sedang menghadap ke depan dengan berjalan maju ke depan. Namun sesungguhnya yang terjadi ialah kita sedang menghadap ke belakang dengan langkah ke depan. Yang dapat dilihat manusia ialah masa lampau dengan bekal pengetahuan masa lampau pula. Yang kemudian sebagai bekal untuk masa depan. Sama dengan ilmu perkembangan ilmu pengetahuan pun merupakan pengembangan dari pencapaian-pencapaian di masa lalu untuk dikembangkan ke masa depan.
Kira-kira seperti itu.. wassalam..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H