Mohon tunggu...
Hammad Mutawakkil
Hammad Mutawakkil Mohon Tunggu... -

Kuas cinta dalam tautan gores tinta digital ...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan Sebagai Komoditi (kajian cultural studies)

14 Juni 2015   00:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:04 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya kasus prostitusi di kalangan artis yang terkuak belakangan ini menjadi sebuah isu atau tema sentral media mainstream selama beberapa minggu ini. Fenomena yang sebenarnya tidak asing namun mendapat rating yang tinggi dalam pembahasan berbagai kalangan semisal di kalangan netizen, dan berbagai kalangan awam lainya. Banyak data spekulasi yang bertabur di media dengan berbagai macam dalih dan analisa. Yang dikatakan fenomena “gunung es” ini sebenarnya sudah diketehui oleh aparat hukum bahkan sampai pada tingkat pejabat sekalipun. Ironinya justru para elit-elit lah yang kebanyakan mengunakan jasa prostitusi high end ini. Prostitusi atau lokalisasi santer terdengar oleh masyarakat dengan konotasi yang negatif. Konotasi yang terlanjur dimaknai negatif oleh kebanyakan masyarakat Indonesia ini para praktiknya tetap saja berlangsung dan akan terus hidup walau diberantas pada tingkat apapun.

Prostitusi seakan telah menjadi kebutuhan dasar bagi manusia. Sejarah prostitusi di Indonesia tidaklah baru, namun sudah mengakar dari zaman kolonial dan masih bertahan sampai sekarang walau dengan mekanisme yang berbeda sesuai dengan tingkat perkembangan zaman. Di Negara manapun pasti ada yang namanya prostitusi dan semacamnya. Ternyata ini merupakan fenomena global yang sudah ada bahkan bila menilik lebih jauh lagi zaman kerajaan, imperium kuno pun sudah ada sistem yang demikian dengan mekanisme yang berbeda pula. Maka jangan terlalu naif bahwa isu prostitusi sekarang ini merupakan isu yang baru lahir kemaren sore.

Melihat dalam konteks Indonesia dalam kerangka sosiologisnya bahwa, hubungan yang demikian ini merupakan mekanisme kebutuhan biologis manusia sebagai fitrahnya yang memiliki hawa nafsu melalui penyaluran yang dalam konotasi masyarakat “negatif”. Selain itu juga di atur oleh sistem atau mekanisme yang demikian tertata dan ter-organisir, ditambah dengan bantuan IPTEK yang sedemikian maju dan rapi. Rasionalisasi sistem prostitusi dampak dari modernisme terlihat disini dengan adanya lapak wanita PSK high end di berbagai situs atau jejaring internet. Efek modernisme memang memiliki dampak yang bersifat ambiguitas yang selanjutnya masuk pada bahasan postmo.

Wanita dalam posisi ini diposisikan sebagai komoditas yang potensial dijadikan bisnis yang dinamakan prostitusi. Kata prostitusi atau pelacuran sendiri sudah ber-konotasi negatif dalam kacamata masyarkat yang entah darimana asal usulnya. Pelacur atau yang populer di Indonesia disebut sebagai pekerja seks komersial (PSK) yang dijajakan di rumah bordil ataupun melalui internet selalu melewati mucikari atau germo, walau tidak jarang ditemui juga yang bergerak sendiri tanpa mucikari atau melalui germo. Bila melihat konteks masa kini prostitusi sebagai sebuah profesi, secara otomatis berhubungan dengan ekonomi. Tingkat ekonomi rendah biasanya yang ada pada penjaakan seks pada tingkat lokal. Feomena artis yang dikatakan high class ini juga tak terlepas dari hubungan ekonomi. Dari semula yang berhubungan sebagai kebutuhan dasar basic need manusia dalam penyaluran hasrat atau libido, maka yang berkembang sekarang ialah pola supply and demand atau biasa disebut market atau pasar. Tingkat ke populeran artis dan kecantikan serta kemolekan artis menentukan harga jual mereka. Maka secara otomatis harga pun beriringan dengan standarisasi prostitusi tingkat artis.

Dari pola-pola tersebut dapat dilihat bahwa fenimena prostitusi “gunung es” ini sedikit telah terkuak, dan bila mencermati polanya ada beberapa unsur seperti pengangguran, budaya, dan berujung pada kepentingan ekonomi. Tentu ini menjadi kajian yang menarik bila di perkuliahan mahasiswa beserta dosen gembar-gembor membicarakan perihal gender dan feminisme atau pemberdayaan perempuan, namun di lapangan ternyata menjadi kabur. Keadaan inilah yang menjadi ciri khas kajian postmo, yan menekankan pada kritik-kritik terhadap fenimena modernitas yang tidak memiliki sense of humanity.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun