Hai langit malam, ini masih terlalu cepat untukmu berlalu, meski awan sehari membuatku sesak pada langkah-langkah ini. Hai angin pagi, membunuh letih setelah sehari lelah bertarung, kini embun menatap jatuh pada dahan kesunyianku, dan mengatakan cinta tak hanya cukup sebuah rindu.
Dan terkadang kita terlalu berdamai dengan angan-angan muluk menenangkan sebuah pertarungan rasa yang sebenarnya kita Cemas! Bukan aku sudah tak perduli kepada apa itu kehidupan dunia, namun sungguh mata ini sudah kering untuk meneteskan air mata, ketika kita hanya berjejak saling menyilang kaki nyali.
Berjalan seolah-olah kita pahlawan membawa sekuntum kemenangan! Aku masih melihat banyak lorong-lorong dingin dipeluk oleh mereka orang-orang pinggiran. Mendekap anaknya yang masih bayi agar tak tertekan tangis karena perutnya lapar.
Aku juga masih melihat banyak tangis-tangis bisu, melolong berteriak :
Kita yang terampas
Kita yang terbuang
Kita yang tak dianggap
Dan kita yang dihempaskan oleh kenyataan.
Karena mimpi-mimpi kita terlalu dalam.
Pada sebuah rumah dan kedamaian yang selalu ingin kutuju :
Hati ini tak ingin lekas patah merentas senyap, dan setidaknya aku sadari ini hanya sementara.
Tenangkan diri!
Tenangkan diri!
Kita pernah kalah, kita pernah jatuh TAPI TIDAK UNTUK MENYERAH!
Kita pernah terluka,
Kita pernah tersayat,
Kitapun pernah tersakiti tapi TIDAK UNTUK MENCACI KENYATAAN.
Mengingatkan kehidupan bukanlah untuk sebuah kemenangan, tapi kehidupan adalah menikam karang diri agar tak jadi jumawa.
Apalah arti sebuah nama besar, bila kita masih saja meludah disembarang tempat!
Apalah arti sebuah gelar pahlawan, bila kita tak cukup pandai melihat kebelakang!
Apalah arti sebuah kata penyair, bila kita hanya membicarakan makna tanpa kenyataan
Hidup ini indah kawan, tapi tak mudah....
Hidup ini berjalan, tapi terlalu cepat kita memutuskan, ketika tali kekang kendali menjadi pikiran semburat!
Dari kumpulan antologi puisi astungkara cinta aku memutuskan memilih;
Â
" NYANYIANMU"
Seraya menimbang angin aku membaca nyanyianmu.
Yang jatuh di rongga dadaku nan doa. Mengkuyupkan musimku di
tangkai waktu.
Ayat-ayat semesta akan mendewasakan kita.
Pada jiwa yang mengikat jiwa, kita bersimpul diri.
Sebagai aku yang kamu.
Dan gerimis ikut mengaminkannya.***
Â
My Book Astungkara Cinta; Aditya Mahya