Mohon tunggu...
Hamka Husein Hasibuan
Hamka Husein Hasibuan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Asal dari Bapak. Usul dari Ibu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Khilafah Ahmadiyah Qadian: Sebuah Sistem Khilafah Non-Politik

7 Mei 2017   21:05 Diperbarui: 7 Mei 2017   21:27 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada semacam pemahaman umum selama ini, bahwa gagasan dan pemikiran mengenai Khilafah Islamiyah selalu diidentikkan dengan sistem politik. Hal ini bisa dimaklumi, karena konsep khilafah yang mencuat ke permukaan; sering dibicarakan, dikaji, disosialisasikan, serta disorot oleh media adalah model khilafahnya Hizbut Tahrir (1953) pimpinan Naqiyuddin an-Nabhani; Islamic State of Iraq and Syria (1971)-Abu Bakar al-Bagdadi;  Al-Qaedah (1988)- Osama bin Laden, dan Jamah Islamiyah-nya Abu A’la  al-Maududi;  yang jelas-jelas orientasinya adalah politik dan kekuasan. Padahal, dalam sejarah dan perjalanannya, tidak semua model khilafah itu orientasinya politik dan kekuasaan. Salah satu sistem khilafah yang orientasinya bukan politik dan kekuasaan adalah model khilafah Ahmadiyah Qadian.

Jikaa al-Maududi (1903-1979) berpendapat bahwa bahwa khilafah adalah salah satu dari tiga prinsip politik Islam: tauhid, risalah (kenabian), dan khilafah; kemudian Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menyebutkan tiga alasan mengapa HT meyakini bahwa pendirian khilafah adalah wajib bagi umat Islam, yaitu: pertama, alasan normatif berupa perintah dari Allah seperti tersebut dalam Al-Quran. 

Kedua, alasan historis, yakni eksistensi sistem ini sejak meninggalnya Nabi Muhammad. Ketiga, alasan faktual berupa kondisi umat Islam yang terpecah belah tanpa khilafah sehingga mudah diadu domba dan ditindas oleh kelompok lain. Maka dalam Ahmadiyah Qadian, khilafah adalah salah satu doktrin pokok –di samping doktrin lainnya, seperti dokrin kenabian, al-Mahdi, al-Masih,  mujaddid (pembaharu), wahyu, serta jihad –yang wajib dipegangi dan dipatuhi.

Khilafah Ahmadiyah Qadian

Sistem Khilafah dalam Ahmadiyah Qadian merupakan konsekuensi logis dari keyakinan terhadap Mirza Ghulam Ahmad, sang Pendaku Nabi, Al-Mahdi, Al-Masih, dan Mujaddid. Bagi setiap Ahmadi, Mirza Ghulam Ahmad adalah sorang Nabi yang mendapat wahyu dari Tuhan. Sekalipun wahyu tersebut sifatnya adalah wahyu al-tabsyir wa al-iinzar (wahyu dakwah), bukan wahyu al-syari’ah seperti Nabi Muhammad. Menjelang akhir hayatnya Mirza Ghulam Ahmad, menulis kitab Al-Washiyat, yang salah satu isisnya adalah bahwa setelah dia wafat, harus ada khalifah pengganti dirinya yang akan mengurusi para Ahmadi. 

Dengan demikian, adanya khilafah dalam Ahmadiyah Qadian merupakan sesuatu yang mesti dilaksanakan, tidak boleh tidak; khilafah adalah sistem ilahi, yang sudah tersurat dalam Al-Quran dan wasiat Ghulam Ahmad. Dengan khilafah, umat akan mudah bersatu; dan tanpa khilafah, umat akan bercerai-berai dan akan terjadi dis-integrasi. Dengan begitu, Khalifah sebagai penerus dari Mirza Ghulam Ahmad adalah orang yang paling punya otoritas dalam sistem kekhilafahan Jamaah Ahmadiyah. 

Mengapa kemudian Khalifah mempunyai otoritas yang sangat tinggi dalam Ahmadiyah Qadian? Hal ini merupakan –sepeti yang dijelasakan di atas– konsekuensi logis dari doktrin dalam Ahmadiyah Qadian yang mengakuai adanya sistem khilafah. Bagi Ahmadiyah Qadian, Khalifah mereka diyakini sebagai pewaris dan pengganti tampuk pimpinan Jemaat, yang sebelumnya dipegang oleh Mirza Ghulam Ahmad. Khalifah dalam Ahmadiyah Qadian diyakini tidak sekedar pengganti tampuk pimpinan saja, melainkan juga mewarisi kesucian rohani sehingga akan menerima pula wahyu dari Allah. 

Dengan kata lain, doktrin tentang khilafah ini merupakan bagian yang tak  terpisahkan dari doktrin tentang kenabian. Khalifah adalah bayang-bayang Nabi dan karena itu keberadaan khalifah mengemban misi agar peran dan misi kenabian tetap berlangsung di dunia ini. Dalam konteks Ahmadiyah ini berarti, bahwa dengan wafatnya Mirza Ghulam Ahmad, semua tugas kenabian diambilalih oleh Khalifah. 

Dengan kondisi seperti inilah, maka dalam Ahmadiyah Qadian, mematuhi dan taat kepada Khalifah yang nota-benenya dapat wahyu dari Allah merupakan puncak dari kebaikan (kullu al-khair fī ṭā’ah al-khilāfah). Dengan kodisi seperti ini, ada beberapa ahli yang menyebut bahwa sistem khilafah dalam Ahmadiyah Qadian hampir mirip dengan sistem sistem papacy (kepausan) Kristen-Katolik.  

Akan tetapi harus digarisbahwai bahwa, khalifah dalam Ahmadiyah Qadian, hanya punya otoritas dalam domain keagamaan. Sementara dalam hal politik dan kekuasaan, para Khalifah Ahmadiyah menganjurkan kepada setiap Ahmadi untuk tetap mematuhi segala peraturan yang berlaku dalam negara yang mereka tempati

Sehinga segala hak dan kewajiban Ahmadi terhadap negaranya, sang Khalifah tidak bisa intervensi. Dalam kasus penyerangan yang dialami  oleh anggota Ahmadiyah di Indonesia umpamanya, Khalifah Ahmadiyah menganjurukan agar kasus tersebut diserahkan kepada Negara, dan para Ahmadi diharapakan untuk tetap kooperatif dengan petugas dan jangan membalas dengan kekerasan.

Yang Berhak Jadi Khalifah dan Masa Kekuasaannya

Dalam Ahmadiyah Qadian, sebenarnya tidak ada aturan yang secara spesifik mengenai kualifikasi mengenai siapa yang berhak menjadi Khalifah, selain bertaqwa, bersih, loyal kepada Ahmadiyah, dan sederet persyaratan lainnya yang sifatnya ruhaniah. Dan pada dasarnya sistem khilafah yang dijalankan oleh Ahmadiyah Qadian bukanlah sistem dinasti; turun-temurun.

 Sekalipun dalam perjalanannya, khalifah selalu dipegang oleh keturunan Mirza Ghulam Ahmad, kecuali khalifah pertama Hakim Nuruddin yang merupakan pengikut setia Ghulam Ahmad sejak Ahmadiyah didirikan di India pada 1889.  Sampai sekarang, Khalifah Ahmadiyah sudah ada 5 orang, yaitu: Hakim Maulana Nuruddin (1908-1914), Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965), Mirza Nasir Ahmad (1965-1982), Mirza Tahir Ahmad (1982-2003), dan Mirza Masrur Ahmad (2003-sekarang).

Proses pemilihan khalifah dalam Ahmadiyah melalui sebuah lembaga yang didirikan oleh Khalifah kedua, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, yang disebut Lembaga Pemilihan (Electoral College) yang didirikan khusus untuk tujuan itu. Dalam proses pemilihan, beberapa nama diusulkan dan pada akhirnya anggota lembaga ini memutuskan memilih satu nama melalui voting dengan cara mangacungkan tangan. 

Dalam pemilihan, setiap Ahmadi berhak untuk memilih khalifah, karena mereka berkeyakinan bahwa sistem khillafah merupakan cabang dari sistem kenabian. Para Ahmadi mempercayai meski secara kasat mata tampak bahwa Khalifah itu dipilih oleh para anggota atau perwakilan Ahmadiyah, namun pada dasarnya, Allah-lah yang memilih Khalifah, seperti yang Dia lakukan dalam pemilihan al-Khulafaur al-Rasyidun, karena setiap kali pemilihan Khalifah terjadi, hati dan pikiran para pemilih semuanya tertuju pada orang yang sama.

Dengan keyakinan seperti di atas, bahwa pada hakikatnya yang memilih khalifah adalah Allah, maka masa kekuasaan seorang Khalifah tidak berjangka. Dengan kata lain, Khalifah dalam Ahmadiyah Qadian berkuasa sepanjang hidup, dia boleh digantikan apabila dia meninggal. Hal ini berarti, tidak ada jalan untuk menyingkirkan Khalifah dalam Ahmadiyah. 

Para Ahmadi, berkeyakinan, apabila Allah sudah berkehendak ingin menggantikan khalifah, maka Dia akan mewafatkan Khalifah tersebut dan menggatikannya dengan Khalifah yang Ia kehendaki. Dengan alasan inilah, maka ketaatan kepada Khalifah merupakan seseuatu yang mutlak; tidak boleh dipertanyakan. Kalau masih ada rasa sanksi atau ketidakpuasan terhadap Khalifah, maka itu sama saja mengingkari kehendak Allah, karena Dialah pada hakikatnya yang memilih Khalifah.

Catatan Akhir

Selain bahwa visi Ahmadiyah adalah perdamaian dan anti-kekerasan, dengan slogan mereka yang terkenal: love for all, hatred for none, adanya sistem khilafah ini merupakan faktor utama mengapa Ahmadiyah masih bisa bertahan dan tetap kokoh, bahkan setiap hari berkembang terus. Ada dua alasan penting mengapa kemudian bisa dikatakan bahwa sistem khilafah inilah yang menyebabkan Ahmadiyah Qadian tetap eksis sampai sekarang. Pertama, sistem khilafah Ahmadiyah tidak pernah mengganggu, atau setidaknya ingin mengubah konstitusi sebuah negara. 

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, otoritas Khaliah hanya pada aspek agama dan spritual saja. Dengan alasa ini pula, hampir tidak ada negara yang melarang keberadaan Ahmadiyah di dunia, kecuali Pakistan, itupun karena faktor lain. Kedua,  adanya keyakinan bahwa Khalifah adalah bayang-bayang Mirza Ghulam Ahmad, yang dalam Ahmadiyah diyakini sebagai Nabi.

 Kepatuhan terhadap Khalifah sama dengan kepatuhan terhadap Nabi, yang nota-benenya dapat wahyu dari Tuhan. Sehingga apapun yang difatwakan oleh Khalifah, setiap Ahmadi selalu berusaha untuk melaksanakanya, begitu juga sebaliknya. Bagi setiap Ahmadi, patuh terhapad Khalifah merupakan bukti keimanan dan keikhlasan.  

 [caption caption="Bendera Ahmadiyah"]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun