Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bermain Peran dalam Panggung Kehidupan untuk Mendapatkan Status Perwalian Nikah

29 September 2024   11:19 Diperbarui: 29 September 2024   11:26 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nikah Batal Tanpa Wali (Hamim Thohari Majdi)

Dunia adalah pangung sandiwara, begitulah banyak penyair mengulas, memainkan peran yang telah ditentukan oleh sang sutradara, menjalani lakon ada dalam alur ceritanya. 

Pernyataan di atas memiliki makna berbeda dalam memaknai peran, ada yang menyatakan peran ini sudah paten, sang pemeran harus mengikuti persis apa yang sudah ditulis, bahkan harus mengerahkan perasaan dalam memaksimalkan perannya.

Beberapa hari lalu datangnya sepasang calon suami isteri, dengan wajah santun menceritakan bahwa dirinya berasal dari sebelah barat kota Surabaya, mereka berangkat pukul lima pagi, selama empat jam asyik mengendarai motor berdua, apalagi sebagai calon pengantin sedang asyik-asyiknya berduaan, hingga perjalanan sekitar dua ratus kilo meter dilalui dengan riang gembira.

Usai dipersilahkan duduk, calon mempelai perempuan memulai membuka pembicaraan, "pak, saya mau minta surat keterangan wali", ujarnya kepada petugas.

Tidak ada kalimat pemanis, mungkin karena belum move on, atau memang seperti ini yang diperankan, tegas dan lugas menyampaikan maksudnya. "coba diulang ulang bu?' tanya lelaki yang berusia separuh abad lebih dengan pandangan serius dan menatap satu persatu wajah yang sedang ada depannya.

Sambil memegang bulpen dan berdansa di atas kerta folio,  penuh seksama mencatat garis nasab atau keturunan calon pengantin putri. Memang untuk mengetahui keberadaan atau memastikan perwalian untuk menikah, diambil dari garis keturunan ayah calon pengantin perempuan ke atas, ke bawah baru kesamping.

Setiap nama yang disebut oleh calon mempelai perempuan dicatat dalam skema, dan pada akhirnya wali diketahuilah bahwa sang wali adalah anak dari saudara lakinya-lakinya, dan menurut pengakuannya tercatat sebagai warga di kecamatan ini.   

'Tapi, kemenakan saya yang pertama berada di sumatera, tidakbisa dihubungi, dua tahun silam ketika ayahnya meninggal kami sempat  bertemu" cerita sang calon pengantin putri, lalu ia melanjutkan ceritanya "sementara adiknya berada di Kalimantan, tak tahu rimbanya dan tidak pernah diangkat bila saya telpon". 

Kami sempat menanyakan beberapa hal ikhwal keluarga besarnya yang mengarah kepada titik perwalian, "siapa yang mengarahkan ibu mendatangi kantor ini", tanya si petugas, karena tidak ada yang bisa dilakukan oleh petuas untuk memberi layanan. Sebab ketika seseorang mau mendapatkan keterangan perwalian atau taukil wali, harus jelas dan yang bersangkutan diketahui keberadaannya. "pak mudin di desa saya yang menyuruh kami mencari kejelasan keberadaan wali" jawab calon mempelai putri. sementara calon mempelai laki-laki terlihat semakin bingung, karena harapannya akan pupus. 

"wah, sepertinya ada yang tidak beres, bagaimana mungkin seseorang akan melakukan pasrah wali, kalau tidak ada orangnya" ujar petugas menjelaskan kepada tamunya, "baiklah beri satau nomor telpon pak mudin" pinta petugas, "mas, nomor pak modin kan tadi dicatat, berikan kepada petus" kata perempuan itu kepada calon suaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun