Sudah pukul tujuh lewat, belum ada tanda-tanda pelaksanaan akad nikah dimulai, tidak ada tenda, ruang tamu masih kosong perlengkapan, begitu pula tuan rumah atau tamu pun belum hadir.
Usai penghulu dan pak mudin masuk halaman rumah dan berjabat tangan dengan seseorang yang sepertinya tidak asing atau sudah pernah jumpa, namun samar-samar ingatan itu mengembara hingga meyakini bahwa tempat ini adalah kali kedua untuk melaksanakan ijab qobul.Â
Tidak ada percakapan selepas mereka menjawab salam, gerakan yang begitu cepat, piring demi piring di keluarkan, berisikan mie goreng, ayam bumbu rujak dan bali, rawon, krupuk dan tiak ketinggalan piring, sendok dan garpu. Bekali-kali pak mudin tanya, "di mana mantennya ? sudahkah datang calon pengantin laki?" tidak ada yang menjawab, seakan mereka tidak memedulikan pertanyaan pak mudin.
"mari sarapan dulu, manten perempuan masih rias, dan manten pria dalam perjalanan", ucap kakak dari mempelai putri, sekaligus calon  wai nikah mempersilahkan pak mudin dan penghulu sarapan terlebih dahulu, kami berusaha untuk menunda sarapan, kerja beres baru beres-beres untuk sarapan, tegas pak mudin.
seluruh anggota keluarga serentak meminta kami untuk sarpan terlebih dahulu, dengan segala dalih, dan yang membuatkami pasrah adalah pernyataan ibu-ibu yang keras suaranya dari dapur, "pak mudin harus sarapan, biasanya kalau sudah selesai akad nikah langsung pamit, seperti kemarin".
Kami saling berbisik, pak mudin dan penghulu, ihwal pernyataan "seperti kemarin", kami baru ingat bahwa pada bulan Juni kami hadir di rumah ini, menyaksikan dan melakukan pencatatan nikah salah satu keluarganya. Memang saat itu lagi full boooked, harus membagi waktu, karena semua reservasi minta sebelum adzan dhuhur selesai, karena kami langsung bergegas pindah usai koor k kata "syahhhhh" dan ditutup doa. ponsel berdering terus menerus, para calon pengantin cemas dan ingin mendapat pelayaan paling awal.Â
Maka harap maklum, kali ini tuan rumah ingin memberi penghormatan kepada pak mudin dan penghulu, karena hari ini pelaksanaan akad hanya ada dua, pak mudin dan penghulu dimohon sabar menanti, "kali ini harus sarapan dulu"
Bersamaan dengan sendok terakhir, manten laki-laki datang naik motor hanya berteman seorang yang bertugas membonceng, Â "pengiring masih di perjalanan dari Probolinggo dan macet di pasar buah Ranuyoso", begitu alasan calon pemantin laki-laki untu mengklarifikasi, mengapa datang seorang diri.
Dari obrolan-obrolan usai akad nikah, tuan rumah tidak ingin kehilangan momen untuk berbagi kebahagiaan menikmati santap sarapan, meski lauk seadanya, "meski kami tidak mengundang banyak orang, kami ingin menghormat pak mudin dan pak penghulu, setelah ini baru ngundang tetangga bersamaan pengiring dari calon pengantin laki-laki.
Pak mudin dan penghulu meski datang ke hajatan atau teropan, yang tersaji hidangan melimpah ruah, kadang kalau lagi musim kawin seperti "anak ayam kelaparan di lumbung padi", kami tidak bisa menikmati hidangan atau suguhan dengan santai, waktu terus mengejar beriringan dengan jetak detik jarum jam, melaju mendahului matahari berada di atas ubun-ubun, semoga barokah, terima kasih suguhannya, sarapan memeng perlu, meski para motivator menyarakan awali harimu dengan senyum, nyatanya perut kami tidak mau kompromi setelah pasang senyum mulai pagi, terus berdendang bahkan terasa melilit karena belum sarapan.Â
Hamim Thohari Majdi
Pesta Tanpa Pengantin Harus Sarapan Dulu
Lumajang, 13 September 2024
Hamim Thohari Majdi @SurplusÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H