Siklus pertumbuhan dan perkembangan manusia dari janin, bayi menuju lansia adalah sebuah kewajaran dan normal. Maka lansia tidaklah bisa dielakkan datangnya seiring dengan tambahnya usia, alami terjadi.
Sebenarnya menjadi lansia adalah harapan dan dambaan sebagian besar orang, hal ini bisa dibuktikan ketika ulang tahun bernyanyi dalam lirik doa, "panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia..." setiap ulang tahun minta dipanjangkan umurnya, artinya kebanyakan manusia ingin kekal hidup dunia, panjang umurnya hingga waktu yang berkata lain dan berkurangnya  daya yang akan  menjawab.
Kata " Lanjut usia" dinisbahkan juga dengan kata "tua" memiliki ragam makna, sisi negatif berarti penurunan daya, melemah, berkurang produktifitasnya. Sisi positif makna tua berarti matang atau masak, seperti buah yang sudah matang siap dan nikmat untuk disantap, "anak perempuan itu sudah matang pola pikirnya". Begitu pula padi yang sudah menguning (tua) siap dipanen. Bahkan tuanya padi dibuat penyemangat "seperti padi semakin tua semakin merunduk" (kematangan emosi dan cara berpikir). Begitu pula istilah "tua-tua tua keladi, semakin tua semakin menjadi-jadi" semakin bahagia dan bergairah hidupnya semakin banyak karya yang dihasilkan
Dalam kontek sosial, bahwa di dunia ini berlaku hukum karma, efek tindakan masa lalu dirasakan saat ini. Apapun tindakan manusia akan mendapat karma sesuai dengan nilai yang dikandung, kebaikan mendapatkan karma kesenangan dan kebahagiaan, kejahatan akan mendapat hukuman  dari alam dan lingkungan sosial, sehingga membuat seseorang sengsara, sedih atau susah. Artinya lansia akan memanen atas apa yang ditanam di masa muda, remaja dan dewasa.Â
Kebaikan aksi yang ditanam di masa lalu, semesta akan menuntun untuk memanen, sehingga hatinya berasa ada cahaya, terang dan berenergi, tetap tenang dan memiliki semangat serta mampu menyemangati. Di masa lansia yang menggembirakan merupakan buah dari biji kebaikan yang disebar dan disiram. Sebaliknya kesengsaraan saat lansia adalah buah biji kelam yang ditanam, sehingga tumbuh dan  buahnya berasa kecut, pahit bahkan memabukkan hingga mematikan.
Memang tidak banyak orang yang berbuat untuk masa depannya, lebih sering memuaskan nafsu dan kebahagiaan sesaat (saat itu juga), padahal ketika memperjuangkan kebahagiaan diri sendiri, banyak mengenyampingkan kebutuhan orang lain, menjadikan kebahagiaan orang lain berubah menjadi penderitaan. Di sinilah yang jarang dirasakan bahwa penderitaan orang lain karena ulah kita, gagalnya pencapaian kebahagiaan karena kita yang menghalangi, membuat hatinya bersekutu dengan alam untuk mengutuk, menghalau langkah kita, akhirnya kesedihan datang bertubi-tubi membuat kelam langit hati.
Filosofi orang jawa menyatakan "ora tibo awak tibo anak" (tidak mengenai diri sendiri, akan mengenai anak keturunan), pernyataan ini lebih mengarah kepada karma negatif, agar manusia lebih berhati-hati dalam bertindak, mungkin saatg ini kita bahagia atau sukses dengan mengabagaikan syarat dan ketentuan yang berlaku sehingga mengakibatkan orang lain tidak memperoleh bagian atau haknya. Maka bila hak orang itu tidak bisa didapat dari kita sekarang, maka akan menjadi warisan anak cucu kita.Â
Dapatlah diperhatikan betapa keturunan orang yang sukses baik secara materi atau status sosial dan berpangkat, namun anak keturunan tidak bisa mencapai level yang sama, bahkan cenderung lebih berada di bawah atau menjadi orang yang biasa-biasa saja. Tampaknya hal ini dianggap biasa-biasa saja, dengan argumen menghibur "biasa dulu disusui terus oleh orang tua" atau "maklum tidak diajari mandiri" dan masih banyak ungkapan sejenis lainnya.
Padahal secara metafisik, ada jalur prestasi yang ditutup karena sikap orang tuanya, sumber rizki mengering karena pendahulunya menguras hingga tak tersisakan.