Orang tua selaku wali nikah, sungguh membutuhkan "nyali besar" untuk mengakadkan calon menantunya, bukan permasalahn tidak mampu atau tidak bisa, lebih mudahnya dikatakan "tidak bisa" menahan keharuan yang melanda hati dan mengaduk masa pengasuhan sang anak, utamanya di waktu belia dan masa-masa yang membutuhkan perhatian.
"aku nikahkan kau, dengan anak perempuanku....." kata inilah yang membuat haru biru seorang wali (ayah), dan kebanyakan tidak mampu menahan isak tangisnya, beraduk antara sedih dan bahagia, bangga dan khayal yang tak berpihak logika.
Pernikahan adalah jalan baru masuk ke dalam keluarga dan lingkungan baru, butuh orientasi dan kesiapan beradaptasi, agar bisa segera mendapatkan posisi diri. Karena dalam upacara seserahan' kedua keluarga (perwakilannya) selalu menyisipakan kata "tidak dianggap sebagai orang lain atau anak menantu, akan tetapi dianggap sebagai anak sendiri", pernyataan ini sebagai gerbang yang terbuka untuk menerima anggota keluarga bari, dari bukan siapa-siapa kini menjadi bagian (kesatuan) dalam keluarga, menerima suka dan duka, menjalani berat dan ringannya tanggung jawab.
Dunia baru, membawa angan dan harapan, membayangkan apa yang akan terjadi esok dan masa depannya, perlu menerawang lebih jauh untuk mempersiapkan mental agar bisa dijalani bukan disesali, betapa banyak keluarga yang kembali ke garis strart karana ada perasaan menyesal, bersatunya semakin mengurangkan nilai, dengan pasangannya merasa kurang dihargai.
Anak menantu, sebagai pendatang ada yang dipuja, ada juga yang tidak dianggap, tentu semuanya berharap bisa mendapatkan tempat dan dianggap sebagai bagian dalam keluarga, beredaannya menambah nilai dan ketidakadaannya mengurangkan kualitas, inilah dunia baru yang menjanjikan hal-hal semua, sehingga perlu diikhtiarkan agar menjadi kenyataan.
Perlu untuk mengetahu apa harapan orag tua atas kehadirannya dalam keluarga, apa yang harus dilakukan untuk membuat anaknya bahagia dan mampu membangun keluarga yang kokoh sepanjang masa, bahagia dan sejahtera. maka diperlukan dialog diawali dengan kedekatan hati dan membangun komunikasi secara intensif agar mampu memetik apa yang menjadi harapan orang tuanya.
Begitu pula harus mengefektifkan komunikasi dengan pasangannya agar mampu menyamakan harapan di masa depan, dan menentukan langkah untuk menggapainya, bukankah keluarga itu menyatunya pasangan dengan banyak perbuedaan, bukan untuk disatukan tetapi dijadikan keseimbangan dan keselarasan dalam menjalani hidup, berumah tangga, bersosial dan beragama.
Kesadaran mendayagunaan perbedaan akan melahirkan banyak hal baru, termasuk kekuatan baru dan cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan, dan menyelesaikan masalah, asalnya masalahnya sendiri dan dicarikan solusi sendiri, kini ada masalah bersama dan harus diselesaikan bersama, tidak boleh membebankan terlalu berat kepada apasangannya, atau salah satu dari pasangan merasa acuh dan sedikitpun menaruh rasa duli.
Menerawang ke depan harus dilakukan bersama seisi rumah, anggota keluarga yang ada di dalamnya agar harmoni terciptakan dan kerukunan mengantarkan kepada tujuan bersama. dalam keluarga dan lingkungan baru siapapun bisa cepat mendapat tempat asal saja bisa menenmpatkan orang lain pada tempat yang berderajat dan terhormat.
Menerawang Masa Depan Bersama Keluarga dan Lingkungan Baru