Sebagaimana fungsinya Scaffolding harus hadir tepat waktu dan dicabut ketika kebutuhan penyanggahan atau dukungan itu sudah selesai, di sini dukungan diberikan ketika individu betul-betul memerlukan.
ORANG TUA HARUS TEGA KEPADA ANAK
Untuk mengembangkan potensi anak secara optimal, maka orang tua harus turut memahami melalui pendampingan atas perkembangan anak dari waktu ke waktu, orang tua tidak boleh terlalu melindungi anak dan membiarkan anak merengek atau cengeng ketika menghadapi masalah dan membutuhkan bantuan. Orang tua harus hadir sebelum anak membutuhkan bantuan, biarkan anak berusaha secara maksimal sekuat tenaga dan usahanya, lalju orang tua turun memberikan bantuan ketika anak benar-benar sudah mendekati prustasi.
Sikap tidak tega terhadap keondisi anak, membuat mental juang anak tidak kuat, mudah patah ditengah jalan, mudah tergoyahkan dengan rintangan-rintangan kecil, scaffolding yang dicetuskan oleh Vygotsky bisa difungsikan ketika masa darurat, sehinga anak akan mengoptimalkan usahnya dan memaksimalkan kemampuannya.
Konsep scaffolding ini lebih mirip dengan sistem mentoring, pendampingan dengan menjelajah pengatahuan, apalagi mentoringnya ini delakukan secara kelompok, maka suasan belajar yang penuh kegairahan dan dilaksanakan dengan menerapkan disiplin tingkat dewa, menjadikan budaya belajarnya lebih giat.
Sosiokultural sebagai salah satu teori perkembangan, dapat dilihat dalam sebuah komunitas atau perkumpulan bisa berupa sekolah, kursus, belajar kelompok dan sejenisnya yang sudah terbangun sistem (budaya) baku, sehinga setiap anggota baru harus menyesuaikan dengan budaya yang sudah berlaku.
Peran orang tua untuk mengantarkan perkembangan anak yang optimal berarti memilih tempat belajar yang memiliki budaya mutu, mengutamakan kualitas dalam proses belajarnya, sehingga bisa dipahami bahwa ada orang tua yang mengarahkan anaknya untuk bersekolah di sekolah tertentu, karena orang tua sudah mengetahui budayanya, atau orang tua melarah atau tidak menghendaki anaknya pada sekolah tertentu, karena budaya yang berlaku tidak sepenuhnya mendukung arah perkembanagn anaknya.
Sehingga ada orang tua yang rela mengeluarkan biaya lebih banyak agar sang anak bisa menikmati pendidikan yang berkualitas, atau memberikan tambahan belajar pada kursus-kurus yang ternama.
Namun tidak selamanya yang mahal dan wauww memiliki kualitas tinggi, sebaliknya tidak sedikit lembaga pendiikan yang menetapkan biaya standar atau rata-rata dengan yang lain tetapi outputnya tidak kalah dengan sekolah mahal pembiayaan. Artinya orang tua harus memastikan bahwa garansi (visi misi) sekolah terwujud dalam perilaku keseharian.
Seperti yang ada di tanah anar, sebagai negara kepulauan dan negara bahari, maka anak-anak yang berada di pesisir berbeda tingkat perkembanagn dan daya pikirnya dengan anak-anak yang dibesarkan di lereng gunung atau di daerah pertanian. Budaya masyarakat pesisir sebagai pekerja keras dan menaklukkan gelombang serta harus berlama-lama di tengah laut menjadikan anak pesisir memiliki keberanian yang cukup tinggi, di samping karena konsumsi makanan dari hasil laut juga tantangan kehidupannya yang membuat daya juang tinggi. Sementara  anak-anak yang tinggal di daerah pertanian, memiliki sikap lebih sabar menanti  sebagaimana kerja petani yang sabar menunggu panen berawal dari musim tanam, merawat lalu memanen.
Pengaruh budaya dalam perkembanagn anak tidaklah dipungkiri, karenanya wariskan budaya yang baik kepada generasi yang akan datang, sehingga meeka akan menjadi generasi emas yang mampu mengatasi problema kehidupan baik secara mandiri maupun kolektif. Semuanya bisa tgerwujud bila orang tua menerapkan "berakit-rakit ke hulu berang ke tepian" orang tua harus tega melihat anaknya bermandikan keringat demi masa depan yang membahagiakan. Berialah kail jangan beri ikannya, agar anak bisa merasakan proses, tidak sekadar menikmati hasil.