Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Sekolahnya Orangtua sebagai Panduan Mendidik Anak

27 Oktober 2023   20:03 Diperbarui: 28 Oktober 2023   10:45 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi orangtua adalah bagian yang harus ditanggung sebagai akibat pernikahan, lahirlah buah hati, sebagai penerus keturunan dan mengabadikan amal kebaikan.

Namun disadari ternyata menjadi orangtua jauh lebih sulit, daripada harus menjadi suami atau istri, kehadiran anak dipandang sebagai pihak ketiga, bisa menambah bahagia, juga bisa mengurangi bahagia.

Menjadi orangtua membutuhkan energi materi yang cukup dan energi psikologi yang selalu terbarukan, agar tidak disaingi atau terebut oleh pihak lain yaitu guru, teman, lingkungan dan permainan.

MEMINDAHKAN ISI KEPALA

Kegagalan terbesar menjadi orangtua, ketika sang anak diharapkan menjadi daur ulang dirinya, mengejar kegagalan cita-citanya, dan membuang riwayat kelam serta menjadi manusia lebih baik, tanpa mengetahui potensi anak.

Para orangtua lebih melihat ke dalam dirinya, dengan segala keunikan yang dimiliki, namun tidak mau melihat atau mengakui bahwa anak juga memiliki keunikan seperti orangtua. Sehingga perlu mendapatkan perlakuan khusus, agar anak tumbuh berkembang menjadi dirinya sendiri.

Bahaya, bila orangtua harus memaksakan kehendaknya kepada anak. Setiap manusia memiliki daya juang dan pengetahuan yang berbeda, sehingga bila ada perbedaan kehendak yang berasal dari luar bisa menjadikan kebimbangan sikap dan tindakan. Anak menjadi gamang dalam melakukan sesuatu, mengerjakan sesuatu yang tidak dikehendaki, menjalankan yang tidak disenangi.

Akibatnya anak dan orangtua mengalami hambatan komunikasi, baik verbal ataupun non verbal, anak-anak menahan rasa karena kalah kuasa, dan orangtua memaksa karena merasa berkuasa.

Kondisi main kuasa inilah, membuat anak merasa tidak menjadi bagian dalam keluarganya, selalu menurutkan kata orangtua dan orangtua menganggap anak tidak tahu dan tidak bisa melakukan apa-apa tanpa instruksi dari orangtuanya.

Sekolahnya Orangtua Sebagai Oanduan Mendidik Anak (Hamim Thohari Majdi)
Sekolahnya Orangtua Sebagai Oanduan Mendidik Anak (Hamim Thohari Majdi)

ORANGTUA BAGIAN KONSUMEN SEKOLAH

Karena tidak mahiran orangtua, keterbatasan keterampilan, maka orangtua menitipkan pengasuhannya kepada sekolah, harapannya sang anak menjadi lebih baik dan bisa meraih apa yang dicita-citakan.

Orangtua yang beranggapan bahwa sekolah sebagai bengkel, maka pandangan terhadap anaknya sudah pasti sebagai insan yang perlu diperbaiki. Padahal hal ini tidak sesuai dengan cita-cita pendidikan, yaitu mendampingi atau mengantar anak kepada kedewasaan yang paripurna, tumbuh secara optimal jiwa dan badannya.

Sekolah sebagai bengkel dan konsumennya adalah orangtua, sementara anak dianggap sebagai barang yang sedang diperbaiki, maka tentu orangtua akan selalu menuntut optimalisasi proses dan hasil yang ajaib. Tanpa harus membangun komunikasi yang baik dengan pihak-pihak yang terkait, bila diterapkan dalam sekolah yaitu kepala solah dan guru.

Sebelum orangtua memastikan pilihan sekolah bagi anaknya, haruslah mendapatkan informasi yang lengkap, meliputi tenaga pendidik atau guru, tenaga kependidikan atau karyawan, lingkungan secara fisik dan kulturnya.

Hal utama di samping hal-hal di atas, orangtua harus memiliki paradigma yang sama dengan pihak sekolah dalam proses pendidikan. Sekolah yang baik akan selalu mensosialisasikan kepada orangtua tentang hal-hal yang berlaku di sekolah.

Begitu juga orangtua yang baik adalah memahami dan menyetujui apa yang telah ditetapkan oleh sekolah dalam melayani dan mendampingi peserta didik atau siswa. Lalu membuat komitmen diri untuk mematuhinya.

Paradigma sama antara orangtua dan sekolah bertujuan agar tidak menimbulkan masalah dan konflik, utamanya ketika ada masalah yang dialami oleh siswa, orangtua dengan serta merta menyalahkan guru, sementara apa yang disampaikan ihwal keadaan anak, orangtua tidak mau tahu dan tidak memedulikan, poknya sang anak dianggap tidak salah.

Perbedaan paradigma dalam pendidikan dan penerapan tata tertib yang ada, akan menjadikan anak sebagai korban. Di sekolah anak-anak tidak bisa bersosialisasi secara baik, sementara di rumah dituntut oleh orangtuanya melakukan hal yang berbeda dengan yang diterima dari gurunya.

RUMAH SEBAGAI TRAINING CENTER

Rumah adalah sekolah kedua bagi anak-anak, dan sekolah adalah rumah kedua bagi anak, artinya di rumah dan di sekolah harus sama-sama menerapkan nilai-nilai yang sudah dibangun secara apik dalam proses pendidikan.

Di sekolah, karena sebagai rumah kedua, maka menjadikan guru sebagai orangtua pertama disekolah, memberikan kasih sayang sempurna, memberi perhatian tanpa pilih kasih antar siswa dan mengalirkan pengetahuannya tanpa tendensi, secara tulus No. modus.

Sementara di rumah, sebagai sekolah kedua, orangtua menjadi guru pertama dalam pengasuhan. Selama di rumah orangtua menciptakan suasana yang menyenangkan, menarik perhatian anak, bermula dari menyelami apa yang menjadi potensi dominan anak dan hobi-hobinya, orangtua bisa menyediakan atau memfasilitasi, mulai dari yang sederhana dengan cara tidak melarang, hingga mendatangkan guru.

Anak-anak akan merasa senang, ketika mendapati suasana rumah yang kondusif, seperti yang diharapkan, bukan atas kemauan orangtua. Banyak anak yang tidak betah di rumah karena mendapati suasana yang monoton, kaku karena tidak mampu melakukan inovasi atau penataan yang ramah anak. Sebagian besar rumah adalah hanya dinikmati orang dewasa.

Orangtua sebagai guru di rumah, tentu berharap agar anak-anak tumbuh dan berkembang dengan karakter diri sendiri, bukan jelmaan dari sifat orangtua. Anak-anak harus dipandang sebagai jagoan masa depan sesuai zamannya, sehingga orangtua memperlakukan anak secara netral tetapi berarah.

Kejengkelan orang membuat nyali anak kendur, cercaan orangtua menjadikan anak minder, sebaliknya perhatian dan pujian, seperti pupuk bagi tanaman, membuat subur dan tumbuh optimal.

Pemberian semangat dan dukungan atas apa yang hendak dilakukan anak, merupakan energi yang akan menggerakkan seluruh langkah anak.

Semuanya berawal dari rumah yang nyaman, orangtua yang perhatian dan mengarahkan kepada karakter yang baik.

Orang yang baik akan berharap kepada anak-anaknya menjadi orang yang lebih baik lagi, tetapi bukan sebagai penebus kegagalan orangtua. Anak tumbuh merdeka dengan segala potensi diri, mengembangkan fitrah menjadi manusia yang memiliki manfaat, bukankah sebaik-baik manusia, dialah yang paling memiliki manfaat untuk kehidupan umat manusia?

Semuanya hanya dimiliki oleh orangtua yang mau sekolah, menambah pengetahuan dan keluasan hati untuk perkembangan anak dan menciptakan jagoan di zamannya.

Sekolahnya Orangtua Sebagai Panduan Mendidik Anak

Oleh: Hamim Thohari Majdi

Lumajang, 27 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun