BUNGLON SOSIAL DALAM TEORI KECERDASAN EMOSI
Kecerdasan Emosional yang digagas oleh Dainel Goleman kemudian diperluas oleh Salovey sebagai tertera dalam buku Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih Penting daripada IQ karya Daniel Goleman, menjadi lima aspek :
- Mengenali diri sendiri, yaitu kemampuan diri mengenali perasaan di saat perasaan itu terjadi atau kemampuan untuk memantau perasaan sepanjang waktu.
- Mengelola emosi, menangani perasaan agar teratasi dengan tepat seperti menghibur diri, mengatasi kecemasan, kemurungan dan ketersinggungan
- Memotivasi diri sendiri, menata emosi agar produktif dan efektif terhadap apa saja yang dikerjakan.
- Mengenali emosi orang lain, ada disebut dengan empati yaitu keterampilan bergaul dengan mengetahui apa yang dikehendaki atau dibutuhkan orang lain serta menangkan sinyal-sinyal yang tersembunyi. Khususnya bagi mereka yang berprofesi sebagai perawat, guru (dosen), marketing dan manajer.
- Membina hubungan, kemampuan mengelola emosi orang lain, biasanya dimiliki oleh para pemimpin atau mereka mendapat gelar bintang pergaulan.
Dalam konteks sosial, maka yang jadi pusat perhatian tulisan ini adalah komunikasi sosial atau membina hubungan. Harapan dari kecerdasan emosional membantu pribadi dalam relasi sosial mengeksplorasi kesadaran diri sendiri untuk memasuki kesadaran diri orang lain.
Namun dalam prakteknya, upaya menjadi bintang pergaulan dilakukan karena kebutuhan pribadi, bersembunyi di balik topeng keanggunan Sok Kenal Sok Dekat (SKSD) dengan bermain peran dan mengikut apa yang diharap orang lain dengan syarat tujuan pribadinya tercapai. Inilah kemudian disebut sebagai bunglon sosial.
KEHILANGAN MUKA
Ingat kisah seseorang yang kehilangan muka ? ah yang bener ! ada orang kehilangan muka, mukankah muka itu wajah bagian dari disi seseorang sebagai identitas.
Mari diperhatikan dalam kehidupan sosial atau di lingkungan kerja, para pegawai yang tingkat kompetensinya pas-pasan atau di bawah standart merasa kehilangan muka, mereka khawatir apa yang dilakukan tidak dinilai oleh atasan, sehingga sia-sia yang telah diusahakannya.
Lalu apa yang dilakukan ? mereka menjadi caper (cari perhatian) dan carmuk (cari muka). Pada istilah carmuk inilah seseorang berusaha mencari mukanya sendiri, pahadal ya tidak hilang mukanya, tetap menjadi wajah dan cover diri yang terbawa selalu mengikuti pergerakan si empunya.
Andai saja merasa punya muka, maka tidak akan perlu melakukan usaha mencari muka, artinya mereka merasa mukanya tidak dibawa ketika bekerja. Maka yang benar, bahwa mereka mencari muka pimpinan atau orang yang memiliki kewenangan dan kekuasaan.
Bahanya bagi carmuk adalah mereka lebih fokus berkaya agar orang lain senang, berkreasi ketika ada gelagat mendapatkan reward dan pujian. Beginilah bunglon sosial selalu menjadikan mukanya sebagai pusat perhatian dan menyerap energi orang lain.