istilah mut'ah lebih terkenal bila disandingkan dengan kata nikah, akhirnya menjadi Nikah mut'ah dalam bahasa sehari-hari di Indonesia diartikan sebagai kawin kontrak.Â
Di beberapa tempat wilayah indonesia, kawin kontrak menjadi hal yang  biasa seperti terjadi di Kabupaten Cianjur, Bogor, Jepara dan Pasuruan serta tidak menutup kemungkinan terjadi di kabupaten lainnya, namun tidak viral karena kasusnya landai-lain saja. Dalam skala nasional beberapa propinsi yang didapati adanya praktik kawin kontrak antara lain ;  Pontianak, Kalbar, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, NTB dan Lampung.
Adakah hubungan istilah Mut'ah dalam nikah dengan nikah mut'ah, mari disimak penjelasan sebagaimana tertera dalam kitab Kifayatul Akhyar.
ARTI MUT'AH SEBENARNYA
Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad  Al=Husaini dalam kitabnya yang berjudul Kifayatul Akhyar Bab Nikah, ada sub bahasan tentang Mut'ah. Berkata Syaikh Abu Sujjak : mut'ah adalah nama bagi harta  yang diberikan suami kepada isteri karena suami menceraikannya.
Berarti mut'ah tidak pernah terjadi bila tidak terjadi perceraian, atau sebaliknya bahwa ketika terjadi perceraian muncullah mut'ah sebagai hak yang harus diterima oleh isteri dari suaminya.
Jenis cerai ada dua :
- Perceraian terjadi karena mati
- Perceraian ketika masih sama-sama hidup seperti talak
Imam Nawawi mengatakan untuk perceraian karena ditinggal mati suaminya, maka ulama sepakat tidak ada mut'ah. Sedangkan perceraian seperti talak  yang belum pernah campur (terjadi hubungan seksual) ada dua pendapat;
Pertama, bila mahar tidak dibagi (diberikan), maka kewajiban suami untuk memberi mut'ah, artinya isteri berhak mendapatkan mut'ah.
Kedua, Kalau mahar sudah dibagi (diberikan), maka tidak ada kewajiban  suami untuk menunaikan mut'ah.
Sedangkan bila perceraian terjadi setelah pasangan suami isteri melakukan hubungan seksual, tidak peduli hanya satu kali
MUT'AH TIDAK BERLAKU UNTUK GUGAT CERAI
Perceraian dalam prosesnya ada yang disebut cerai dan gugat cerai. Bila yang mengajukan perceraian adalah pihak suami maka disebut dengan cerai atau talak, sedangkan perceraian yang diajukan oleh isteri disebut dengan gugat cerai.
Berkaitan dengan mut'ah menurut Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini menyatakan setiap perceraian dari isteri atau sebab isteri, tidak ada mut'ah dalam perceraian itu.Â
Sama halnya dengan pembatalan  (fasakh) dari isteri sebab suami miskin, meninggalkan rumah (tidak ada di tempat), seperti suami membatalkan pernikahannya karena didapati isterinya cacat, (sebagaimana bahasan sebelumnya tentang penyebab suami atau isteri bisa mengemabalikan ke keluarganya).Â
NILAI MUT'AH
Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Husaini menganjurkan pemberian mut'ah tidak lebih dari tiga puluh dirham. Bila satu (1) dirham nilainya  418361, maka tiga puluh dirham sama dengan seratus dua puluh enam ribu enam belas rupiah ( Rp. 126.026).
Mut'ah boleh diberikan selain barang asalkan ada kesepakatan antara suami dan isteri. Jadi kerelaan keduanya dibutuhkan dalam menentukan bentuk mut'ah.
Sedangkan bila terjadi perselisihan atau tidak mencapai kata sepakat antara suami dan isteri  dalam menentukan mut'ah, maka hakim berhak memutuskannya, tentu saja sebelum hakim memutuskan (ijtihat) terlebih dahulu mengetahui kondisi suami dan isteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi'i dalam kitabnya berjudul Al-Mukhtashar.
Untuk menambah kebahagiaan isteri dan mengurangkan beban keuangannya, dibolehkan mut'ah diberikan melebihi nilai mas kawinnya, sebesar seperdua atau total nilai mut'ahnya adalah satu setengah dari besarnya mas kawin.
Hal ini yang perlu menjadi perhatian  bahwa mas kawin akan mempengaruhi pemberian mut'ah bila terjadi perceraian, Walau pada dasarnya tidak diingini terjadi perceraian, maka hukum yang ditetapkan oleh para ulama adalah sebagai pengetahuan dan dasar bila ada kejadian, sehingga dapat mengurangi perbedaan dan mempercepat menyelesaikan masalah.
KAWIN KONTRAK
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Al-Husaini ketika membahas tentang mut'ah tidak ada pendapatnya tentang Nikah mut'ah. Untuk itu perlu adanya wawasan tentang Nikah  mut'ah yang prakteknya terjadi di beberapa negara yang terkenal dengan sebutan kawin kontrak.Â
 Inti arti dari kawin kontrak atau bahasa Arabnya Nikah Mut'ah adalah pernikahan dengan jangka waktu tertentu, tujuannya adalah untuk mendapatkan kesenangan.Â
Maka sejatinya kawin kontrak yang diambil dari istilah nikah mut'ah, sebagaimana arti mut'ah adalah manfaat, bersenang-senang dan menikmati, maka nika mut'ah jelas arahnya adalah bisa merasakan kenikmatan permainan cinta danbirahi pada perempuan.
Hasil penelitian Tangguh Adiyoga mahasiswa S1 Universitas Brawijaya Malang Fakultas Ekonomi jurusan Ekonomi bisnis dengan judul "Identifikasi Dimensi Ekonomi Pada Kawin Kontrak (Studi Kasus Kawin Kontrak di Desa Kalisat Kecamatan Rembang Kabupaten Pasuruan)".
Nilai kontrak untuk dua minggu, sebagaiamana hasil penelitian tersebut di atas sebesar Rp.22.750.000. Untuk perempuan yang dinikah mut'ah mendapat Rp. 20.000.000,-, Makelarnya senilai Rp. 2.000.000, Saksi Rp. 250.000, dan keamanan Rp. 500.000,-
Tentang nominal nilai kontrak dalam nikah mut'ah tidak ada patokan resminya, bergantung daerah dan keberadaan perempuannya (usia, kecantikan dan lainnya).
Ketika waktu kontrak sudah habis, maka keduanya tidak lagi memiliki hubungan yang mengikat sebagaimana ditentukan diawal. Namun bisa diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak. Pada intinya nikah mut'ah lebih mengarah kepada penikmatan seksualitas, hingga mencapai masa perceraian yang telah disepakati waktunya.
 Dalam kajian historis, di jaman sebelum adanya aturan yang lebih baik, ketika masa peperangan banyak lelaki yang keluar rumah dalam jangka waktu tertentu, sehingga tidak ada kesempatan untuk mendatangi isterinya. Maka terjadilah kawin kontrak.
Sebagaimana ditulis oleh Fajar Hernawan, Mahasiswa S 3 HES UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang berjudul Tinjauan Yuridis Kawin Kontrak dan Akibat Hukumnya Dalam hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. Disebutkan bahwa secara historis kawin kontrak dua (2) kali dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua (2) kali yakni sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar (7h/628 M), kemudian diperbolehkan selama tiga (3) hari ketika Fathu Makkah, atau perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya.Â
 Sumber referensi Kitab Kifayatul Akhyar Karya Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini, terj. KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah Musthafa, Penerbit Bina Iman Surabaya. Dan Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar oleh Drs. Moh. Rifa'i, Drs. Moh. Zuhri dan Drs. Salomo, Penerbit Karya Toha Putra, Semarang.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H