Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Menjadi Wali dan Menikahkan Diri Sendiri, Apa yang Terjadi?

1 Maret 2023   23:33 Diperbarui: 1 Maret 2023   23:35 1849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lazim yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, pernikahan dilakukan oleh walinya, ayah, kakek saudara dan seterusnya yang sama-sama kita ketahui berjenis kelamin laki-laki.

Sehingga calon pengantin perempuan akan mencari garis keturunan dari ayahnya yang seayah dan seibu ataupun seayah saja, hingga ditemukan titik akhir, adakah wali yang masih berhak atau tidak ada. Ini menunjukkan betapa pentingya seorang wali dalam sebuah pernikahan (akad nikah). 

Belum pernah terjadi pernikahan tanpa wali, baik wali yang megangkat dirinya sebagai wali atau wali yang memang berhak menjadi wali dan wali hakim., pun juga masyarakat atau para saksi akan meragukan pernikahan tanpa adanya wali.

Pembahasan dalam kitab Kifayatul Akhyar dalam Bab Nikah, setelah pengertian seputar nikah dan memandang wanita, maka giliran berikutnya adalah masalah akad nikah. 

RUKUN  AKAD NIKAH

Dalam kitab Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa pernikahan itu dianggap sah bila ada empat unsur yang hadir, pertama, wali, calon pengantin laki-laki, calon  pengantin  perempuan dan dua orang saksi.

Maka keberadaan wali dalam pelaksanaan akad nikah menjadi penting dan harus ada, sebagai mana Rasulullah bersabda :

laa nikaaha illaa bi waliyyin  wa syaahidai adlin artinya tidak sah pernikahan kedua dengan wali dan dua orang saksi yang adil"

Syarat sah menjadi wali menurut Syaikh Abu Sujjak ada enam, yaitu :

  • Islam
  • Baligh
  • Sehat Akalnya
  • Merdeka
  • Laki-laki
  • Adil

  Dalam hukum munakahad (hukum pernikahan dalam Islam), wali haruslah beragama Islam, begitu pula dua orang saki. Maka bagi wali yang tidak beragama Islam tidaklah berhak menjadi wali. 

Baligh adalah keharusan bagi seorang wali, yang artinya wali sudah mencapi usia yang terkena kewajiban menjalan perintah dan menjauhi larangan. Maka dalam kitab Kifayatul Akhyar 

Wali juga harus seorang yang pintar, sebagaimana rasulullah bersabda :

"tidak ada pernikahan kecuali dengan wali yang pintar"

YANG TIDAK BOLEH MENJADI WALI

Meskipun kedudukannya sebagai wali, tidak secara otomatis bisa menjalankan tugas dalam perwalian akad nikah, mereka adalah:

1. Anak kecil

2. Dalam keadaan gila terus menerus

3. Cacat akal karena pikun terus menerus

4. Sinting terus menerus

5. Kemasukan syaitan atau kesurupan

6. Bodoh

7. Banyak penyakit sehingga membuatnya lupa diri

8. Ayan dan pingsan hingga sembuh

Wali yang dilarang  seperti nomor 2 sampai nomor delapan  bisa berpindah kepada wali yang lebih jauh. 

 

BAGAIMANA DENGAN WALI YANG BISU ATAU TULI

Para ulama sepakat bahwa wali yang buta dan karena kedudukannya jelas sebagai wali dan dapat melaksanakan tugas perwaliannya dan dapat mengakadkan.  Tidak ada perbedaan pendapat antar ulama dalam hal ini, oleh karena itu  bisa dilaksanakan secara benar dan tepat.

Sedangkan bagi wali nikah yang tuna wicara atau bisu, bila dapat memberikan isyarat yang bisa dimengerti atau dapat menulis berhak menjadi wali dan boleh mengakadkan. 

Wali yang tuna netra tidak dapat menulis dan tidak mampu memberi isyarat yang mudah dimengerti, maka hak kewaliannya dicabut. Insa Allah dalam prakteknya sekarang orang-orang yang bisu dan buta sudah bisa memberi isyarat dan  bisa  menulis. 

URUTAN WALI

1. ayah

2. Kakek dari ayah

3. Saudara laki-laki seayah- seibu 

4. Saudara laki-laki seayah 

5. Keponaan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung

6. Keponakan laki-laki seayah

7. Anak laki-laki paman

4. 

KETIKA PEREMPUAN MENJADI WALI

Pada hukum prinsipnya bahwa wanita tidak boleh menjadi wali dan tidak boleh pula menikahkan diri sendiri, sebagaimana sabda Rasul yang artinya :

 "orang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lain, dan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dengan seorang lelaki. Kami (para sahabat) pernah menyatakan : perempuan yang menikahkan dirinya sendiri adalah perempuan yang berzina"

Maka jelaslah bahwa perempuan dilarang menikahkan orang lain atau menikahkan diri sendiri dengan seorang lelaki, andai saja pernikhannya tetap dilakukan, maka katagori batal nikahnya, bahkan dalam hadits disebut sebagai zina, karena akadnya tidak memenuhi rukun yang ada yaitu tiadanya wali nikah.

Menurut Imam Nawawi menukil pendapat Al - Mawardi tentang perempuan yang berada di suatu tempat yang tidak ada walinya dan hakim juga tidak ada, ada tiga hukum, yaitu :

  • Tidak boleh dinikahkan
  • Boleh menikahkan dirinya sendiri karena darurat
  • Memberi kuasa kepada seorang laki-laki untuk menikahkan dirinya  dengan lelaki lain

Dari ketiga pendapat tersebut, memberi kesempatan kepada perempuan menjadi wali dan menikahkan diri sendiri dengan lelaki lain, garis bawah tebalnya adalah "dalam keadaan darurat"

Pertanyaan yang muncul, adakah sekarang ini  situasi  tidak memungkinkan menghadirkan wali baik wali nasab atau wali hakim ?, bukannya kecanggihan teknologi telah menghubungkan dari kejuahan hingga ujung dunia.

Maka dapatlah disimpulkan bahwa ketika perempuan memaksa diri menjadi wali nikah atas akad nikah seorang perempuan dengan lelaki lain tidaklah sah atau batal, dan pernikhannya atau perkawinannya disebut zina. 

Mungkin hal tersebut di atas sudah tidak ada, namun kasusnya juga sangat langka adalah ketika tersesat di hutan yang sangat jauh dari pemukiman dan tidak ada signal untuk sarana berkomunikasi.

TIDAK SEMUA BISA JADI SAKSI

Syarat menjadi saksi sama dengan syarat menjadi wali, begitu pula seseorang tidak boleh menjadi saksi bila memenuhi syarat yang tidakmembolehkan menjadi wali nikah.

Seorang saksi harus diterima (atas persetujuan) kedua calon mempelai. Maksudnya tidak sembarang orang bisa ditunjuk menjadi saksi dan calon suami atau calon isteri berhak menolak saksi yang dihadirkan.

Kedua orang saksi diperbolehkan mendengar, melihat dan mengetahui  bahasa akad nikah dengan keadaan sadar. Hal ini juga mengandung arti bahwa akad nikah tidak harus ditentukan penggunaan bahasanya oleh calon mempelai laki-laki. Namun bahasa yang digunakan harus dimengerti oleh semua yang hadir utamanya wali dan saksi.

 KESMIPULAN

1. wali harus memenuhi enam (enam)  persyaratan perwalian

2. Perempuan tidak boleh menjadi wali untuk orang lain dan menikahkan  dirinya sendiri 

3. Syarat saksi sama dengan syarat wali

5. Pernikahan tanpa wali dan tanpa saksi yang memenuhi rukun wali, maka penikahannya tidak sah.

===================

 Sumber referensi Kitab Kifayatul Akhyar Karya Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini, terj. KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah Musthafa, Penerbit Bina Iman Surabaya. Dan Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar oleh Drs. Moh. Rifa'i, Drs. Moh. Zuhri dan Drs. Salomo, Penerbit Karya Toha Putra, Semarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun