Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perkawinan Anak Tidak Sekadar Pernikahan Dini dan Masalah Ekonomi Bangsa

27 Januari 2023   21:43 Diperbarui: 1 Februari 2023   15:55 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perkawinan belum mencapai usia dewasa lebih populer disebut Perkawinan dini (sumber gambar : Hamim Thohari Majdi)

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa prinsip perkawinan adalah calon suami istri harus matang jiwanya.

Itu, tentu saja, agar tercapai tujuan perkawinan dan tidak berakhir dengan perceraian serta mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, maka harus dicegah bila ada perkawinan di bawah umur.

Usia perkawinan sebelum usia 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan tergolong perkawinan di bawah umur, artinya di bawah umur minimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dengan tegas menyebut perkawinan di bawah umur sebagai perkawinan anak, bukan pernikahan atau perkawinan dini. 

UU NO 16 Tahun 2019 menjadikan kedua calon mempelai harus berusia 19 tahun (sumber gambar : Hamim Thohari)
UU NO 16 Tahun 2019 menjadikan kedua calon mempelai harus berusia 19 tahun (sumber gambar : Hamim Thohari)

Padahal selama ini yang dibesar-besarkan di media adalah pernikahan dini seperti Pada Rabu Legi 25 Januari 2023 Jawa pos di halaman depan termuat judul "Setahun, Nikah Dini capai 51 ribu kasus, dari jumlah tersebut di menyumbang angka 15,095. 

Besaran angka tersebut bersumber dari Putusan Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya. Khusus di Jawa Timur meskipun angka tersebut cenderung turun dari tahun sebelumnya sejumlah 17.151.

Bila merujuk kepada kata "dini" artinya pagi sekali dan belum waktunya. Maka secara umum perkawinan dini adalah perkawinan yang dipaksakan atau disegerakan sebelum waktu (usia) yang ditentukan, bahasa lain dari perkawinan dini adalah perkawinan yang dilakukan secara tergesa-gesa.

Mengapa harus segera dilakukan? Karena ada sesuatu hal yang memaksa untuk disegerakan baik orang tua ataupun keadaan. 

Sedangkan perkawinan anak maka obyek bahasan adalah jelas yaitu anak, artinya seseorang yang masih dalam kekuasaan orang tuanya dan belum bisa melakukan perbuatan secara mandiri sepenuhnya dalam berbagai hal.

Untuk itu Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 menegaskan bahwa ketika terjadi perkawinan anak, sama halnya dengan menghilangkan hak anak dan memaksakan anak menjadi orang dewasa. 

Ketika berbicara anak, maka otomatis yang diperbincangkan termasuk di dalamnya adalah orang tua, karenanya bila terjadi perkawinan anak, maka yang paling disorot adalah keberadaan atau peran orang tua.

POLA ASUH

Perkawinan belum mencapai usia dewasa lebih populer disebut Perkawinan dini (sumber gambar : Hamim Thohari Majdi)
Perkawinan belum mencapai usia dewasa lebih populer disebut Perkawinan dini (sumber gambar : Hamim Thohari Majdi)

Sebagai penentu karakter seorang anak adalah pola pengasuhan yang didapat dari orang tuanya. Di sinilah orang tua memiliki peran besar terhadap tumbuh kembang anaknya. 

Kasih sayang dituang dalam jiwa anak akan mempengaruhi ketenangan hidupnya, maka pertanyaannya seberapa besarkah tuangan kasih sayang orang tua kepada anaknya?

Jiwa-jiwa damai menunjukkan kepada kesiapan diri turut dalam harmoni sosial, hidup sesuai dengan tahapan sosial yang melingkupinya. Pengasuhan yang tepat menjadikan anak bisa menjalani hidup sesuai dengan masa pertumbuhan.

Maka apabila terjadi perkawinan anak, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara orang tua mengasuh ?. seperti yang lazim terjadi bahwa pola asuh ada tiga yaitu demokratis, permisif dan otoriter. 

Sedikit dijelaskan tentang pola asuh, demokratis adalah pengasuhan yang humanis melibatkan anak dalam proses pengasuhan, memandang dan memperlakukan anak sebagai anak, bukan sebagai robot atau memaksa untuk menjadi orang dewasa.

Permisif merupakan pengasuhan yang bersifat minimalis, pemenuhan kebutuhan dasarnya lebih bersifat material, kurang sentuhan emosional dan adanya kelekatan hati, sehingga orang tua sudah merasa cukup bila kebutuhan dasarnya terpenuhi dan pada akhirnya anakpun berkarakter minimalis.

Sedangkan otoriter adalah orang tua memandang anak sebagai obyek pelaksana dari kemauan orang tua, termasuk di dalamnya melakukan hal-hal yang tidak bisa dicapai oleh orang tuanya di masa lalu, orang tuanya dulu gagal menjadi dokter.

Maka anaknya dipaksa sekolah kedokteran agar kelak sang anak menjadi dokter, meski anak tidak memiliki kompetensi sebagai seorang dokter.

Oleh sebab itu adalah diperlukan gerakan menjadi orang tua humanis, peduli dengan masa depan anak, melindungi jiwa raga anak dan hak-hak yang harusnya melekat kepada anak. Sehingga anak tidak merasa sendiri dan mencari kebahagaian di luar rumah.

EKONOMI

Faktor keuangan keluarga turut menjadi salah satu pemicu perkawinan anak. Beban hidup yang berat sementara pendapatan jauh berada di bawah kebutuhan, menjadikan orang tua tidak ingin menanggung lebih lama kebutuhan hidup anaknya. 

Salah satu jalan adalah menikahkan (hal ini utamanya orang tua yang emiliki anak perempuan) dengan begitu berkuranglah beban yang harus ditanggung, bahkan bisa dikatakan "merdeka".

Keuangan sangat mempengaruhi tingkat pendidikan keluarga, sebagian besar kasus perkawinan anak, latar belakang pendidikan hanya di tingkatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (setingkat SMP) bahkan hanya lulusan Sekolah Dassar (SD)

Tidak terselesainya pendidikan atau tidak paripurnanya pendidikan seorang tentu bergantung dari keuangan orang tuanya. 

Ketika anak-anak tidak lagi berada di bangku sekolah sesuai dengan usianya, maka anak tingggal dan besar bersama lingkungannya, mengharuskan diri bekerja daripada menganggur dan dengan bekerja mampu meningkatkan kesejahteraan financial. 

KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN

Kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa adalah kewajiban pemerintah, dalam konteks lebih luas adanya lapangan pekerjaan yang mampu menampung populasi usia kerja, keterjangkauan daya beli masyarakat, mudahnya akses dan keterjangkuan mendapatkan sesuatu.

Inilah Pekerjaan rumah bersama, di desa-desa harusnya pembangunan mampu menjadikan seluruh anggota masyarakat ekonomi meningkat, paling tidak pembangunan desa mampu menjadi pengantar kelancaran perputaran ekonomi warganya.

Dengan ekonomi kuat kesejahteraan dan kemakmuran terwujud, sehingga para anak bangsa akan memperoleh hak-haknya sesuai dengan standar kebutuhan hidupnya.

BUKAN SEKADAR PERNIKAHAN DINI

Sekali lagi perlu ditegaskan kalau hanya sekadar pernikahan dini sebagai sebutan dari perkawinan di bawah umur, ujung-ujungnya akan menyalahkan sang anak, pun bila orang tua yang diikut sertakan belumlah mutlak menjadi penanggung jawab.

Pernikahan dini ujung beban penderitanya adalah anak dan keturunannya seperti tersebar Di hari Kamis Pahing 26 Januari 2023 kembali Jawa Pos melansir berita "Nikah dini, Anak Rawan Stunting" dalam berita ini presiden Joko Widodo menyatakan "jangan sampai mau nikah ada anemia, kurang darah, ini nanti kalau hamil, kalau ini enggak diselesaikan, anaknya menjadi stunting"

Itulah gambaran betapa perlu meningkatkan kewaspadaan dan meningkatkan layanan penyelematan mengurangi angka dan peristiwa perkawinan anak. 

Sehingga, anak-anak akan menyempurnakan masa pertumbuhannya, dan mampu meraih kenikmatan berumah tangga dalam menggapai kebahagiaan kekal dunia hingga alam fana serta hidup bahagia lahir dan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun