Bagi saya tinggal di gang buntu merupakan kebanggaan dan kenyamanan, betapa tidak?Â
Ketika anak-anak masih usia Balita hingga duduk di bangku Sekolah Dasar, mereka dengan leluasa bermain di depan rumah dengan hambatan lalu lintas yang sangat minim, membuat orang tua tidak perlu menelan pil anti galau.
Walau tinggal di perumahan, anak-anak tetap bisa bermain ke luar rumah, karena gang buntu menawarkan kenyamanan, jarang ada pengendara yang mengencangkan gas, kecuali salah pilih jalan.
Akhirnya harus balik kucing. gang buntu menjadi alternatif area bermain bagi anak-anak untuk bersosialisasi saling kenal antar tetangga dan merasakan bagaimana suka dan duka hidup bertetangga serta merangsang tumbuh kembang jiwa raganya.
Dua rumus kehidupan min berpasangan dengan plus, untung rugi, dan suka duka, tentu ada duka atau kegelisahan dan kekurang nyamanan tinggal di gang buntu.
Peristiwanya terjadi sudah cukup lama, namun menjadi kenangan yang mematri. tinggallah dua orang bersahabat dalam satu deretan gang buntu, Si A tinggal di deretan ketiga dari ujung depan, sementara si B berada di ujung belakang.
Kedua sahabat ini erat dan sangat kental bersosial. Entah mengapa, kedua sahabat ini menjadi renggang dan pada akhirnya meletuslah konflik deras terbuka, apa sebab ?
Di suatu malam  si A datang dari pepergian menjelang dini hari, entah karena lelah atau tergesa-gesa, begitu mobil di parkir langsung masuk rumah.Â
Masih sangat pagi, embun terasa dingin dan hitam menjadi pandangan menyimpan misteri, Si B usai menghidupkan mesin, langsung injak gas dan melajukan mobil dengan pelan "menghormati tetangga yang sedang berlibur di pulau mimpi".
Beberapa meter mobil melaju hingga berada dekat rumah si B, diamati dengan jeli "wah, tak mungkin bisa lewat" guman si B melihat mobil sahabatnya di parkir kurang menepi.Â
Dengan hati riang dan penuh kasih si B membunyikan klakson "tin.. tiin. tiin" sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar. Â
Dari dalam terdengar suara "siapa ya malam-malam membunyikan klakson" ucap si A dalam kekurang sadaran si A berguman lagi "tidak punya etika, turun ketok pintu, kan lebih sopan".Â
Mungkin karena merasa sudah akrab melebihi saudara kandungnya, si B kembali membunyikan klakson dan kali ini lebih keras tiiiiin tiiin tiiin"hai, ini orang ke mana.... mobil ya, Â mobil nya.... dipinggirkan"
Saya tidak perlu meneruskan ceritanya, tapi jelaslah bahwa tinggal di gang buntu apalagi berada di ujung paling belakang, haruslah  memiliki mental tangguh, setangguh baja anti gores dan tahan pukul.Â
Bila tidak? sering menguras emosi karena kesalahan yang tidak di sengaja oleh tetangganya bisa mengganggu kenyamanan dan kelancaran.Â
Apalagi tumbuh akar-akar serabut konflik yang dipelihara, bisa menjadikan perang anta tetangga, ada saja ulah dan laku yang memancing amarah.
Hidup bertetangga, harusnya seperti hidup dengan keluarga sekandung, bahkan harus lebih baik "seakan-akan mendapatkan warisan", karenanya untuk menjalin keharmonisan antar tetangga perlu menerapkan pola "sapalah dengan ramah tetanggamu, sebelum engkau masuk rumah". Â
Karena tetanggalah orang pertama kali mendengar jeritan kesedihan dan dan turut tersenyum kala tawa bahagia meledak.Â
Seperti sepasang kekasih, hidup bertetangga selalu merindukan ketika tidak tampak aktivitasnya, kadang menunggu tetangga lewat, rela duduk di depan teras hanya ingin "say Hallo" basa basi sebagai bumbu komunikasi.Â
Hidup bertetangga kepada mereka kita tititpkan harta benda dan anak, ketika harus meninggalkan rumah dan pergi untuk beberapa hari.
Hidup bertetangga melatih kepekaan dan kepedulian, menjaga kesehatan jiwa dan mengembangkan sikap sosial. Namun suka duka tinggal di gang buntu, jauh harus ekstra hati-hati dalam merawat hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H