Dengan hati riang dan penuh kasih si B membunyikan klakson "tin.. tiin. tiin" sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar. Â
Dari dalam terdengar suara "siapa ya malam-malam membunyikan klakson" ucap si A dalam kekurang sadaran si A berguman lagi "tidak punya etika, turun ketok pintu, kan lebih sopan".Â
Mungkin karena merasa sudah akrab melebihi saudara kandungnya, si B kembali membunyikan klakson dan kali ini lebih keras tiiiiin tiiin tiiin"hai, ini orang ke mana.... mobil ya, Â mobil nya.... dipinggirkan"
Saya tidak perlu meneruskan ceritanya, tapi jelaslah bahwa tinggal di gang buntu apalagi berada di ujung paling belakang, haruslah  memiliki mental tangguh, setangguh baja anti gores dan tahan pukul.Â
Bila tidak? sering menguras emosi karena kesalahan yang tidak di sengaja oleh tetangganya bisa mengganggu kenyamanan dan kelancaran.Â
Apalagi tumbuh akar-akar serabut konflik yang dipelihara, bisa menjadikan perang anta tetangga, ada saja ulah dan laku yang memancing amarah.
Hidup bertetangga, harusnya seperti hidup dengan keluarga sekandung, bahkan harus lebih baik "seakan-akan mendapatkan warisan", karenanya untuk menjalin keharmonisan antar tetangga perlu menerapkan pola "sapalah dengan ramah tetanggamu, sebelum engkau masuk rumah". Â
Karena tetanggalah orang pertama kali mendengar jeritan kesedihan dan dan turut tersenyum kala tawa bahagia meledak.Â
Seperti sepasang kekasih, hidup bertetangga selalu merindukan ketika tidak tampak aktivitasnya, kadang menunggu tetangga lewat, rela duduk di depan teras hanya ingin "say Hallo" basa basi sebagai bumbu komunikasi.Â
Hidup bertetangga kepada mereka kita tititpkan harta benda dan anak, ketika harus meninggalkan rumah dan pergi untuk beberapa hari.
Hidup bertetangga melatih kepekaan dan kepedulian, menjaga kesehatan jiwa dan mengembangkan sikap sosial. Namun suka duka tinggal di gang buntu, jauh harus ekstra hati-hati dalam merawat hati.