Beberapa kasus meninggal dunia bagi pasien Covid-19 setelah mendapatkan vaksin (seperti tidak memiliki fungsi) membuat masyarakat trauma. Tentu saja anggapan masyarakat umum dengan telaah keterbatasan pengetahuan dan tidak memiliki keahlian.
Kalau dilihat grafiknya kematian pasien Covid-19 yang meninggal setelah divaksin tidak banyak, lebih banyak yang kebal setelah vaksin atau masih tertolong, hanya saja karena orang yang ketakutan atau berpikir negatif, maka hal kecil dibesarkan, sementara yang besar positif tidak tampak.
AGUSTUSAN USAI
Bagi masyarakat pedesaan momen Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan hari istimewa, selain upacara peringatan detik-detik proklamasi adalah lomba-lomba dan karnaval.
Sepintas tidak ada hubungan antara imunisasi anak dengan Agustusan, namun nyatanya beberapa orangtua mencegah untuk turut imunisasi di bulan Agustus. Alasan riilnya, karena anak-anak mereka akan mengikuti lomba parade drum band.
Rasanya ingin garuk kepala tapi belum berasa gatal, jawaban kurang logis tetapi akal harus menerima nalar yang digunakan orangtua. Mereka khawatir usai diimunisasi anak-anak terserang demam (panas) lalu tidak bisa turut serta ber-drum band-ria, padahal latihanannya hampir dua bulan dan terlanjur seragam dibeli.
Kategori orangtua seperti di atas memang membuat gemes dan geli, namun begitulah faktanya. Tenaga kesehatan dan pemangku kebijakan menginginkan anak Indonesia tuntas tervaksin pada saat BIAN.
OBAT TETES
Meski jumlahnya hanya sedikt, para penolak imunisasi ini mengusulkan agar imunisasi atau vaksin dikemas dalam bentuk obat tetes atau kaplet. Tentu ini adalah pendapat awam yang tidak memiliki sandaran keilmuan tentang farmasi.
Setidaknya usulan tersebut menjadi pemicu dan dasar melakukan inovasi mengemasnya dalam bentuk mudah saji dan mudah disantap. Bukan hal yang mustahil dalam ilmu pengetahuan untuk mengubahnya, hanya saja butuh waktu, entah tahun berapa bisa terealisasi.
Membangun kesadaran dan mempercayai hasil riset teknologi menjadi penting dengan tidak melepaskan begitu saja hal-hal yang bersifat spiritual dan supra natural karena dalam peristiwa alam ada yang bisa dijangkau dengan nalar sehat, ada pula yang membutuhkan para normal untuk memberi tafsir.