Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Healing di Bandung

19 Agustus 2022   18:13 Diperbarui: 19 Agustus 2022   18:23 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat datang, di Bandung Kota lautan api, bersamaan dengan semarak 77 Tahun propinsi Jawa Barat. Riuh, rame dan berdesakan dengan wajah kegirangan. Inilah Bandung pertamaku menginjakkan kaki, juga serombongan senyum kecil yang terus mengembang, "Bandung kami datang" ujarnya.

Jalannya sesak kendaraan bermotor, lampu merah telah menunggu dalam beberapa langkah, sehingga parkir agak susah. Maklum bersama kegiatan yang tumpah di sekitaran gedung sate, namun tak membuatku lelah. 

Warna warni pakaian para pengunjung, membuat Bandung semakin meriah, utamanya ibu-ibu menggunakan selendang dandan rapi full asesori, sungguh mempesona. 

Bandung sangat layak dijuluki kota entrepreneur, penjaja barang dagangan hadir bersamaan turunnya rombongan dari awak bis. Menyambut turis domestik untuk berbagi rizki.  Mereka sangat ulet menawarkan apa yang dibawa ada kaos, jaket, souvenir, dompet dan tas kulit, banyak yang tertarik dan menukar  uang dengan barang dambaannya. Tidak mahal, harga pasar kualitas plasa. 

Begitu padat cafe, rumah makan dan warung serta plasa. Bandung lebih pagi bangun dibanding kota besar lainnya. Pukul 08.00 WIB sudah pada buka. Aktivitas masyarakat di kota begitu cepat dan jalanan padat.

Kesegaran dan sedikit sejuk, membuat pejalanan kami betah menyusuri taman dan jalanan di sekitar gedung sate. Ramah dan bersahabat, banyak sapa di jalanan walau kami saling tidak kenal. Bahasa sunda (bandung) terdengar hampir seluruh sudut kota. Jadi sangat tampak beda dari sisi logat pribumi dan turis. Namun sekat itu hilang, lebur dalam kesamaan tujuan.

Healing di kota Bandung, sangat tepat. Karena bagi warga Jawa Timur biasanya menetapkan tempat healing di seputaran Jawa Tengah. Inilah hal yang kurang biasa dan sangat luar biasa, kami datang dengan menumpahkan segala rindu yang menahun, wujudkan hayal yang tumbuh terus dalam mimpi setiap tidur.

GEDUNG  SATE

Sejak awal kami penasaran, seberapa besar sate yang tersaji, atau hanya monumen sate tempo doeloe. Penjaga keamanan menceritakan bahwa sate adalah simbul yang tertancap pada puncak atap bangunan utama. Tusuk sate dengan enam bulatan (seperti daging).

Jumlah bulatan sebanyak enam, memiliki makna historis serba enam. Pertama berkaitan dengan simbul keuangan, gedung ini dibangun dengan total biaya yang dikeluarkan sebesar 6 juta gulden (mata uang Belanda) bila dikurskan dengan nilai sekarang setara hampir lima puluh miliar. Wauw sangat fantastik nilainya saat itu. 

Sedangkan makna enam yang kedua adalah jumlah tangga yang bisa dinaiki dalam gedung. Tentu dibuatnya enam tangga adalah sebuah harmoni, penghubung yang sangat hebat.

CINTA SEJARAH

Gedung sate adalah kebanggaan masyarakat  Bandung dan Icon yang memikat orang untuk datang. Seperti pada wisata cagar budaya, maka pengunjung yang  hadir, ingin menjadi bagian dari sejarah.  

Seiring dengan berkembangnya piranti teknologi, dan derasnya arus media sosial. Sebaran informasi telah tersaji begitu cepat dan dalam banyak perspektif. Anak muda membuktikan kegaulan dan disebut generasi milenial, hadirlah mereka di sini.

Emak-emak selalu bikin seru, minimal sama bahkan kalau bisa lebih awal datang ke tempat-tempat viral. Medsos telah mengubah posisi emak-emak sebagai "konco wingking" (urusan dapur), kini telah berada di garda depan, menyesaki dunia maya, emak-emak virtual.

Apapun yang mereka lakukan, patut diacungi jempol, ikut melestarikan cagar budaya, semakin rame dikunjungi akan semakin cantik perawatannya dan menghidupkan ekonomi sekitaran tempat wisata. 

Bandung semakin menarik dikunjungi. Menjadikan sejenak keruwetan kognisi terurai. Healing dengan menelusuri jejak sejarah. Ada bahagia berbalut bangga. Menjelma dalam keramaian dan euforia bersama. Bahagia kolektif lebih nikmat, karena kesendirian dan kesepian hanya membuang serpian. Kuras semua, siapkan tuang yang baru bersama di kota Bandung. 

HEALING TAMBAH ILING

menuang bara dalam dada, siap mengisi yang sejuk dan santai. Agar syaraf kendur. Mampu berharmoni dengan yang lain. Siap bermitra dan kerja bersama dalam perusahaan. Berkarya lebih produktif. 

Keruwetan ritme rutinutas dalam hidup, menjadikan kerja kognisi melamban. Sesak dengan hal yang sama, menjadi sampah yang nyengat baunya. Memusingkan dan melambankan cara berpikir.

Sesaknya sampah pengetahuan dan bertumpuknya masalah masalah kecil, membuat sulit ingat. Mudah lupa dan hilangnya fokus. Sibuk dengan upaya menyiram debu-debu. Jadilah hidup merenung dan mengernyitkan jidat.

Bersihkan kotoran melalui healing merawat kesejarahan adalah mengingatkan peristiwa masa lalu, menghidupkan fakta sejarah. Betapa masa sebelum modernisasi yang ditandai dengan cipta sarana berteknologi, sudah mampu berpikir tentang hal-hal besar yang belum banyak wujudnya. 

Maka patutlah untuk lebih iling (ingat) kegigihan dan kreatifitas masa lampau. Mungkin dengan keterbatasan, nenek moyang kita bisa mengoptimalkan yang ada. Beda dengan jaman sekarang, banyak mengeluh, merasa kurang dan terlalu dikejar waktu. Ya, karena banyak hal yang terjadi secara instan dan bim sala bim, lalu jadilah.

Iling (ingat) adalah sarana untuk bisa waspada, mampu melihat dari berbagai sisi, memiliki keluasan pandangan.  Maka akan memudahkan mencari solusi, karena hadir banyak alternatif. Tinggal memilih sesuai dengan yang dikehendaki, berkaitan dengan ketersedian sumberbdaya (man),  sumber dana (money) dan bahan (material). 

Healing harus mengahadirkan iling, belum berhasil, bahkan gagal bila healing menambah semakin pening. Ingat, lepaskan masalah sesaat dan jangan diingat lagi. Tebarkan kepada alam, lalu senyum dan berterima kasih kepada semesta. 

Ingatlah keramahan semesta, menjadi tempat akhir pembuangan sampah kehidupan. Alam akan mengurai dan mendaur ulang dengan melahirkan produk baru dan kekinian. Alam senantiasa memperbarui dirinya untuk kelestarian semesta. Manusia akan merasa teremajakan ketika alam hadir menjelma dalam tong sampah baru.

Sebaik-baik manusia adalah mereka yang masih  iking (ingat) akan jati dirinya. Dengan begutu akan mengantarkan kepada ingatan kepada sang pencipta, untuk apa kita dicipta. Bersyukurlah dan ungkapan syukur dengan memperbanyak kebaikan.

Kali pertama.ku pijak tanahnya

Tak berapi dan berair

Walau kota ini diperjuangkan

Dengan merenangi lautan api

Begitu terawat dengan apik

Tapak sejarah nenek moyangnya

Terkenang dan hadirkan tenang

Menguak dalam yang tak terbalut

Pening terusir oleh healing

Membantu tambah iling

Miring berguling

Lengankan kan disingsing

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun