Sore ini Gemblung diminta menemani temannya untuk suatu urusan. Karena sumpek di kamar terus seperti orang mbambung, akhirnya Gemblung pun mau.Â
"Naik apa?" tanya Gemblung
"Jalan kaki, Mblung" ucapnya serius.
Kalau mampir di warung depan rumah sih ndak masalah. Lah ini disuruh berjalan kaki lebih dari 100 km. Apa nggak modar kakinya? Mending saja kalau Gemblung punya ilmu melipat buminya nabi Sulaiman atau Gusdur. Mau sejauh apapun jaraknya, kalau masih di bumi, bisa tiba di tempat dalam sekejap. Tapi, zaman modern yang katanya bisa membuat dan menciptakan kendaraan-kendaraan mewah pun kalah dengan ilmu tersebut. Ilmu itu pun memiliki dua aliran: aliran yang pertama diketuai oleh nabi Sulaiman, dan yang kedua dipimpin oleh Gusdur. Bedanya, nabi Sulaiman bisa pindah tempat sekedipan mata, kalau Gusdur aliran melipat buminya yaitu dengan rasa.Â
"Maksudnya?" tanya temannya Gemblung.
"Begini, waktu itu relatif apa tidak menurut kamu?"
"Jelas statis! Memang kenapa? Kamu mau bilang bahwa waktu itu relatif, begitu?" sahut temannya.
"Jika waktu bersifat statis, saat kamu bermain game play station atau melakukan hal-hal yang kamu sukai selama beberapa jam, bukankah waktu beberapa jam tadi hanya terasa sebentar?"
"Memang sih, lalu apa hubungan bermain game dengan ilmu melipat bumi?" tanya temannya
"Lama atau tidaknya waktu itu berawal dari kondisi subjektif seseorang. Misal kamu tidak suka pelajaran matematika karena bukan minatmu, nah ketika disodori pelajaran itu, apakah kamu tidak gusar dan tidak puyeng? Namun, ketika kamu menyukai dan meminati pelajaran seni, lalu disuguhi pelajaran tersebut, bukankah waktu terasa sangat sebentar? Hal yang dilakukan Gusdur pun sama. Ilmu yang dimiliki beliau itu ibaratnya bisa mempengaruhi persepsi orang lain untuk menerima hal-hal yang dilakukan oleh Gusdur melalui pemikirannya dan keberadannya". Jelas Gemblung
"Ah, ujung-ujungnya klenik!".
Ilmu yang di konsumsi secara diam-diam ini kalau disebarluaskan juga bisa repot. Kalau semua orang mempunyai ilmu itu, bisa-bisa perusahaan-perusahaan besar teknologi dan industri di China dan Amerika bisa bangkrut, 'kan kasihan. Jika sudah begitu, zaman modern, post-modern, gen Z, dan sebutan lainnya hanya tinggal nama saja. Apa nggak seram membayangkan hal itu?
Ada-ada saja kelakuan temannya Gemblung itu. Ternyata ucapanya itu hanya candaan mesra saja. Maklum, yang namanya  konco kenthel itu aneh-aneh omongannya. Kalau diibaratkan sebagai makanan, omongannya itu rasanya pedas bin pahit, tidak karuan. Tapi dibalik ketidak-karuan tersebut pasti ada hikmah dibaliknya. Dan benar, Gemblung pun sewot dan balik ke kamar lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H