- Salah satu bentuk responsibilitas sosial dalam Islam dan salah satu karak teristik umumnya adalah kekuasaan atau kepemimpinan dalam masyarakat Islam diberikan secara bergiliran kepada mereka yang mampu.[1] Allah swt berfirman:
- Â
- Â
- "Katakanlah (Nabi Muhammad), "Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imrn/3: 26)
- Â
- Â
- Menurut Imam Sya'rawi bahwa ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah swt adalah raja atau penguasa tunggal (alam semesta) yang abadi Maha Kuasa. dan disebabkan Ia penguasa maka Allah lah yang paling berhak memberikan dan mencabut kekuasaan seseorang.[2] artinya merupakan bagian dari sunatullah bahwa kekuasaan itu hendaknya diberikan secara bergantian.
- Â
- Maka dalam Islam sejatinya kekuasaan tidak boleh dimonopoli oleh seorang penguasa hanya untuk dirinya sendiri serta kepada anak cucunya setelahnya. Juga tidak boleh kekuasaan itu hanya dimonopoli oleh satu keluarga. Serta tidak juga dimonopoli dengan nama agama, kekuatan, kudeta dan sebagainya. Karena pada konsep dasarnya, kekuasaan itu dipangku oleh individu yang telah mencukupi syarat-syarat untuk memangku jabatan itu, dan hendaknya kesempatan untuk memegang jabatan itu terus terbuka bagi orang-orang yang mampu, ketika kaum muslimin menginginkan memilih seorang penguasa. [3]
- Â
Dari uraian ini jelas bahwa segala jenis monopoli kekuasaan tidak dibenarkan oleh syariat Islam sama sekali. Sedangkan jika pernah terjadi di tengah catatan sejarah Islam adanya monopoli kekuasaan, maka itu biasanya terjadi semata-mata karena kebodohan akan syariat Islam dan hukum-hukumnya atau karena memang sengaja meninggalkan syariat itu. Namun, itu sama sekali bukanlah suatu landasan bahwa Islam membolehkan monopoli kekuasaan: Dan, kecaman itu seharusnya diarahkan kepada kaum muslimin yang bodoh atau sengaja bodoh, bukan diarahkan kepada syariat itu sedikit pun. perlu dicatat agar dipahami bahwa kepemimpinan dan kekuasaan bukanlah kehormatan, melainkan amanat yang harus dipertanggungjawabkan di dunia maupun di hari akhir nanti. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H