Mohon tunggu...
Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Mohon Tunggu... Ilmuwan - Apa aja ditulis

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penyakit Kekuasaan dan Wacana Penundaan Pemilu

27 Mei 2022   22:15 Diperbarui: 27 Mei 2022   22:17 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa (29/2), dengan epik mantan Menteri Kabinet Kerja Jilid I sekaligus Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said menuliskan gagasannya di Kolom DetikCom tentang demokrasi berikut penyakitnya yang diberi judul "Post-Power Syndrome (PPS) dan Demokrasi Kita". Sekilas tidak ada masalah dengan tulisan tersebut. Namun, dalam hal penyakit kekuasaan rasanya ada yang kurang, akan lebih mantap apabila dikaitkan dengan isu politik hari ini.

Dalam politik, sindrom biasanya diartikan sebagai penyakit kekuasaan. Lazimnya, ini dikaitkan dengan post-power syndrome (sindrom pasca kuasa). Penggunaan istilah tersebut untuk mendeskripsikan orang-orang yang berprilaku aneh-aneh termasuk juga doyan mengkritik pemerintah setelah ia tidak lagi berkuasa.

Selain post-power syndrome, ada penyakit lainnya bernama pre-power syndrome dan in-power syndrome. Semua orang berpotensi mengidap tiga sindrom tersebut. Namun, bukan tidak mungkin ada orang yang bisa lolos dari salah satu atau bahkan ketiga sindrom sekaligus.

Pre-power syndrome (sindrom sebelum kuasa) adalah istilah untuk mendeskripsikan orang orang yang melancarkan kritik kepada pemerintah sebelum mereka memangku jabatan. Seolah-olah ketika mereka diberikan kesempatan untuk memerintah rakyat akan merasakan keadilan dan kemakmuran, semua permasalahan negara akan beres, serta akan lebih baik dari pada pemerintahan sebelumnya. Sedangkan orang-orang yang mengidap In-power syndrome (sindrom saat kuasa) akan merasa apa yang dijalankan dalam pemerintahannya sudah benar, memuji program-program yang dijalankannya dan jika ia seorang menteri maka ia cenderung menjilat presidennya, intinya ABS (Asal Bapak Senang).

Kalau kita melihat pejabat yang berkoar-koar meminta penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan dengan berbagai dalilnya termasuk dalil "big data", mungkin dia sedang mengalami in-power syndrome. Ia tidak ingin kekuasaannya hilang begitu saja ditelan oleh waktu, ia masih ingin menikmati fasilitas yang disediakan oleh negara serta hak istimewa (privilege) yang telah ia rasakan. Sementara sebagian diantara orang-orang yang teriak meminta tidak ada penundaan pemilu adalah orang-orang yang mungkin sedang mengidap penyakit pre-power syndrome sembari mempersiapkan strategi dan taktik serta menghalalkan segala cara untuk memenangkan kontestasi lima tahunan tersebut, atau bisa jadi sedang mengidap post-power syndrome demi untuk berkuasa lagi.

Penolakan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan yang paling keras datang dari gerakan mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa dari berbagai kampus, beberapa waktu lalu termasuk yang baru-baru ini (21/04), memenuhi jalanan di Ibu Kota dan di berbagai daerah. Aksi tersebut merupakan kesadaran kolektif untuk tidak mengulangi lagi sejarah kelam bangsa Indonesia. Para mahasiswa menuntut tidak ada penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan, serta berbagai tuntutan lainnya seperti melambungnya harga bahan pokok, dan seterusnya.

Memang pembatasan masa jabatan merupakan amanat reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa saat itu. Namun, yang perlu diperhatikan oleh para mahasiswa saat ini, jika suatu saat nanti menjadi pemimpin di negeri ini adalah jangan sampai seperti para pendahulunya yang beberapa diantaranya mengidap salah satu sindrom diatas.

Sekali lagi, setiap orang berpotensi mengidap sindrom tersebut. Dalam situasi tidak berkuasa dia terobsesi untuk memperoleh kekuasaan, begitupun saat berkuasa dia tidak ingin kekuasaan yang telah diperolehnya berpindah tangan begitu saja. Akibatnya ia menjadi tidak jujur dalam menilai sesuatu, terutama dan paling utama adalah mengabdi pada kepentingan (vested interest) pribadinya semata. Itulah sebabnya setiap orang menjadi tawanan dari situasinya.

Bisakah manusia yang disebut zoon politicon oleh Aristoteles ini lepas dari tiga sindrom tersebut? Tentu saja bisa. Pertama, Kita perlu sadar bahwa kekuasaan itu ibarat piala bergilir, bagaimanapun caranya kekuasaan akan berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Tidak ada kekuasaan absolut, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Itulah hukum sejarah. Maka, kekuasaan tidak perlu kita perebutkan dan pertahankan mati-matian, apalagi mati karena memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan.

Kedua, Kita sudah memilih sistem demokrasi dalam bernegara, maka konsekuensi logisnya harus ada rotasi kepemimpinan publik sebagaimana nama negara kita Republik Indonesia. Semua itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) yang wajib kita patuhi bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun