Mohon tunggu...
Abdul Hamid Al mansury
Abdul Hamid Al mansury Mohon Tunggu... Ilmuwan - Apa aja ditulis

Santri Darul Ulum Banyuanyar Alumni IAI Tazkia Wasekum HAL BPL PB HMI 2018-2020 Ketua Bidang PA HMI Cabang Bogor 2017-2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Upaya Pencegahan Covid-19 dari Hulu

4 Agustus 2021   00:53 Diperbarui: 4 Agustus 2021   00:56 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang merebaknya wabah covid-19 di tahun 2020, saya belum pernah merasakan ganasnya covid-19 di kampung saya di Madura, tepatnya di Kabupaten Pamekasan. Hanya kegaduhan di media yang sampai ke telinga tetangga hingga menjadi bahan obrolan sehari-hari di warung kopi. Saking lamanya, warga kampung nyaris tidak percaya dengan covid-19 dan hanya segelintir orang yang mematuhi prokes (protokol kesehatan).

Tahun 2021 menjadi pembeda dengan tahun 2020. Covid-19 varian delta yang berasal dari India ini masuk ke kampung-kampung termasuk kampung kelahiran saya. Kita tahu bahwa varian delta ini merupakan covid-19 yang tingkat penularannya 60% lebih cepat daripada varian alpha. Awal mulanya varian delta ini masuk ke Madura melalui sisi Bangkalan kemudian menjalar ke arah timur yaitu Sampang, Pamekasan samapai ke ujung timur Madura yaitu Sumenep.

Secara letak geografis, Bangkalan dan Surabaya hanya dipisahkan oleh jembatan Suramadu. Tentu, mobilitas masyarakat kabupaten Bangkalan lebih sering ke Ibu Kota Jawa Timur tersebut dari pada kabupaten-kabupaten lainnya di Madura. Jadi, wajar jika Bangkalan menjadi zona merah dan jumlah kasus positif tertinggi di Madura yang mencapai 5.574 orang (01/08). 

Bandingkan saja dengan kabupaten Sumenep yang mendapatkan pengecualian penerapan PPKM  (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) oleh pemrov Jatim karena zero cases dan zona hijau, namun sekarang (01/08) menjadi zona resiko sedang dengan jumlah kasus positif mencapai 4.549 (infocovid19.jatimprov.go.id).

Menjelang akhir Juni 2021 sampai sekarang, banyak orang sakit. Awalnya saya mengira bahwa sakitnya disebabkan oleh perubahan cuaca yang ekstrem. Kadang tiba-tiba hujan, mendung seharian, panas seharian dan malam yang sangat dingin. 

Begitu pun dengan orang meninggal yang terlampau banyak dan hampir tiap hari ada pengumuman orang meninggal baik melalui pengeras suara dari tempat ibadah maupun via medsos hinngga tidak diperkanankan untuk disiarkan oleh masyarakat. Bila ada orang meninggal, banyak orang, terutama kiainya, tahlilan tanpa prokes dan seolah-olah PPKM hanya berlaku di perkotaan saja. Semuanya terjadi secara merata.

Percaya atau tidak, mereka yang sedang menderita sakit adalah orang-orang yang terpapar covid-19 varian delta. Saya mengumpulkan informasi tentang gejala-gejala yang disebabkan covid-19 varian delta dari berbagai sumber, seperti sesak nafas, nyeri, mual, kehilangan indra penciuman dan gejala-gejala lainya, kemudian saya menanyakan kepada orang-orang yang sedang sakit, semuanya jelas sama persis seperti informasi yang saya dapatkan.

Ditengah mengganasnya covid-19 varian delta tersebut, sudah barbagai cara penyembuhan dilakukan oleh masyarakat. Ada yang mengkinsumsi obat-obatan tradisional, ada juga yang ke dokter dan rumah sakit dengan kelangkaan obat dan tabung oksigen sebagai masalahnya serta ada pula yang membaca qasidah Burdah karya Imam Al-Bushiri yang konon katanya bisa menyembuhkan penulisnya dari penyakit parah, masyarakat pun percaya akan hal itu, kemudian qasidah yang berisi pujian kepada Rasulullah SAW tersebut dibaca secara berkeliling oleh masyarakat kampung yang dipimpin seorang ustadz atau kiai tanpa mematuhi prokes.

Per hari Ahad (01/08), kasus positif di Indonesia mencapai 3.440.396 orang, sembuh 2.809.538 orang, meninggal 95.723 orang (covid19.go.id). Setelah saya amati di kampung saya dan membaca data tersebut, kemudian jika dilakukan testing terhadap semua orang yang sakit dan meninggal, maka sesungguhnya data covid-19 tersebut tidaklah akurat dan seharusnya jumlah kasus covid-19 jauh berlipat ganda dari pada data yang sekarang tersaji.

Ada dua hal yang ingin saya suarakan melalui tulisan ini bahwa pertama, masyarakat terutama dikampung-kampung masih banyak yang tidak mematuhi prokes 5M, apalagi 5M, 3M pun mereka tidak mematuhi. Beberapa kali saya dikatai oleh orang-orang yang tidak mematuhi prokes, seperti dikatai "memakai BH dimulut" karena menerapkan prokes (memakai masker) dan perkataan-perkataan lainnya dengan nada ejekan. Sebetulnya, mereka bukan tidak tahu prokes, tetapi tidak tahu apa manfaat dari prokes dikala pandemi sekarang ini.

Kedua, aturan pemerintah seperti PPKM yang diperpanjang sampai 9 Agustus 2021 pun masih penuh tanda tanya dalam mengurangi kasus covid-19. Bila yang pertama tidak dipatuhi terlebih dahulu, maka yang kedua akan berujung sia-sia.

Jadi, disinilah peran pemerintah terutama pemerintah daerah seharusnya menggandeng tokoh masyarakat terutama kiai untuk menerapakan prokes termasuk manfaatnya karena selain pengaruh figur kiai, ia menjadi role model bagi masyarakatnya. Selain itu, mengkomunikasikan aturan pemerintah dengan baik sesuai dengan tingkat pemahaman dan pendidikan masyarakatnya adalah kunci keberhasilan dalam menangani dan mengurangi kasus covid-19. Itulah pencegahan covid-19 dari hulu yaitu pembatasan kegiatan masyarakat dan ketapatuhan prokes.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun