Akibat pandemi Covid-19, peringatan Dies Natalis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tahun ini yang ke 74 (5 Februari 1947-2021) mungkin tak akan semeriah dan sesemarak tahun-tahun sebelumnya. Kita -- khususnya kader dan alumni HMI -- tidak akan menyaksikan secara langsung peringatan peringatan tersebut, yang biasanya setiap tahun diselenggarakan di aula masjid, ballroom hotel, gedung kementerian, atau gedung-gedung mewah di Jakarta.
Dalam sejarah HMI yang didirikan oleh seorang Pahlawan Nasional, Lafran Pane, hanya sekali peringatan dies natalis HMI ke 68 (2015) disiarkan secara langsung oleh TVRI. Acara tersebut dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga alumni HMI bertempat di Assembly Hall Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta. Saat itu, HMI dinakhodai oleh Muhammad Arief Rosyid Hasan yang sekarang menjabat sebagai Komisaris Independen Bank Syariah Indonesia dan alm. Mulyadi P. Tamsir sebagai Sekjen PB HMI 2013-2015 dimana alm. Mulyadi P. Tamsir adalah salah satu korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di Kepulauan Seribu, Jakarta pada 9 Januari 2021 lalu.
Tidak hanya dies natalis HMI, berbagai kegiatan HMI pun kacau akibat pandemi Covid-19. Misalnya, Kongres HMI XXXI yang sejatinya dihelat pada tahun 2020 "terpaksa" diundur, entah kapan akan dihelat. Jika, kongres diundur, maka musyawarah nasional lembaga-lembaga dan badan-badan dibawah naungan PB HMI pun juga diundur. Sedangkan perkaderan (LK I, II, III, SC, LKK dan sebagainya) ada yang diundur, namun pada akhirnya bisa berdaptasi dengan kebiasaan baru yaitu perkaderan daring. Lalu, bagaimana kalau kongres dilakukan secara daring seperti halnya perkaderan? HMI bukannya tidak mampu bahkan mungkin sangat mampu melaksanakan kongres daring. Tetapi, rasanya bukan kongres HMI kalau tidak ribut didalam forum, adu gagasan dan ide dengan berhadap-hadapan hingga lobi-lobi di warung kopi.
Di momentum inilah saya, sebagai kader HMI, mencoba melihat kritik orang diluar HMI terhadap HMI. Salah satu kritik tersebut datang dari seorang ulama sekaligus profesor yang tak pernah mengenyam pendidikan formal, yaitu Prof. Dr. Buya Hamka. Kritik Buya Hamka terhadap HMI terekam dalam bukunya yang bertajuk "Dari Hati ke Hati", sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan beliau yang pernah dimuat di media cetak Panji Masyarakat dalam rubrik Dari Hati ke Hati selama kurun waktu 14 tahun (1967-1981).
Sebetulnya kritik tersebut secara personal (person to person). Kritik tersebut ditujukan kepada Nurcholish Madjid (Cak Nur) sebagai ketua umum PB HMI 1967-1969 dan 1969-1971. Namun, bagaimanapun seorang ketua umum adalah representasi organisasi. Jadi, kritik Buya Hamka kepada Cak Nur adalah juga kritik kepada HMI. Meskipun Buya Hamka tidak menyebutkan nama Cak Nur, tetapi, akan terlihat jelas bila kita membaca latar belakang perumusan NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan) HMI bahwa kritik tersebut ditujukan kepadanya. Dimana, Cak Nur sebelum merumuskan NDP, terlebih dahulu Cak Nur melakukan perjalanan ke berbagai negara di Timur Tengah untuk mencari nilai-nilai dasar Islam (karena Islam muncul di Jazirah Arab) yang sekiranya relevan bagi HMI dan Indonesia pada umumnya.
Kritik tersebut berbunyi: "Pernah seorang pemuda dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diundang oleh Kerajaan Saudi Arabia ke Mekah sehingga ia dapat naik haji dengan biaya pihak yang mengundang. Sampai di tanah air ia menulis dalam sebuah surat kabar Kristen (Sinar Harapan) yang isinya bertendensi mengejek keadaan disana, tidak ada kemajuan. Tidak ada modernisasi." Kritik tersebut dilontarkan oleh Buya Hamka ketika Cak Nur sudah kedua kalinya ke Arab Saudi dengan membawa sepuluh orang pengurusnya untuk naik haji.
Memang benar, Cak Nur tidak mendapatkan apa yang di cari melalui berbagai diskusi dengan beberapa tokoh Islam yang ada disana yang sekiranya mendukung terhadap kemajuan dan kemodernan Indonesia. Justru, Cak Nur merampungkan apa yang ia cari ketika beliau menghatamkan al-Qur'an di Makkah dengan terjemahan bahasa Inggris dan mencoreti al-Qur'an tersebut dengan komentar-komentarnya.
Akhirnya, dari perjalanan Cak Nur di Timur Tengah selama tiga bulan lebih, NDP berhasil dituliskan untuk kemudian dibawa ke Kongres IX di Malang, 1969 dan baru kemudian disahkan di Kongres X di Palembang, 1971, Cak Nur beralasan karena tak mungkin suatu kongres membicarakannya, lalu diserahkan kepada tiga orang untuk menyempurnakannya; Endang Saifudin Anshari, Sakib Mahmud dan Cak Nur sendiri. NDP menurut penulisnya, sebagaimana tercantum dalam pengantar PB HMI tahun 1971, "merupakan perumusan tentang ajaran-ajaran pokok agama Islam, yaitu nilai-nilai dasarnya, sebagaimana tercantum dalam Al-Kitab dan As-Sunnah".
Sungguh sangat disayangkan sekaliber Buya Hamka hanya mengkritik latar belakang, bukan isi. Andaikan beliau membaca teks NDP HMI kemudian menanggapi, mengkomentari atau bahkan mengkritisinya, mungkin akan terjadi dinamika intelektual yang luar biasa diantara para tokoh dan menyuguhi masyarakat luas dengan memahami Islam yang esensial dalam dimensi ruang dan waktu serta dalam bingkai keislaman, keindonesiaan dan kemodernan hingga membawa perubahan-perubahan dalam masyarakat itu sendiri. Inilah sebetulnya tugas seluruh kader dan alumni HMI. Penulis hanya mengandaikan kepada Buya Hamka, tetapi lebih dari itu adalah sebuah harapan dan keharusan bagi seluruh kader dan alumni HMI untuk menjalankan tugas tersebut.
Dengan demikian, semoga apa yang di ucapkan Jenderal Sudirman menjadi sebuah kenyataan; "HMI bukan saja Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi HMI juga Harapan Masyarakat Indonesia".