ngangkang, karena kalo menyamping susah buatku menyeimbangkan motor saat nyetir. Nanti dari sini bonceng menyamping layaknya seorang perempuan biasanya, diperbatasan desa baru kau ganti duduk ngangkang". Itulah sepenggal perintahku pada keponakanku, itu tidak hanya berlaku bagi keponakanku saja, tapi juga saudari kandungku saat mau bepergian keluar desa. Saat pulang dan mau masuk desa, ganti lagi dengan duduk menyamping.
Cebbhing, panggilan untuk keponakan perempuan bagi orang Madura, tolong nanti jangan cuma pake rok atau gamis doang ya! pake celana panjang juga. Biar bisa dibocengAneh nggak sih? Pembaca pasti merasa aneh dengan percakapan tersebut? Tentu. Mengapa tidak bonceng ngangkang sejak dari rumah? Kenapa harus ganti gaya bonceng di luar desa? Ruwet nggak sih? "Ruwet, ruwet, ruwet" jawab pak Jokowi. Wkwkwk
Dalam batin menggerutu "malang bener jadi anak kiyai kampung". Yaaah... tapi mau gimana lagi? Anak kiyai harus memberikan "contoh yang baik" bagi masyarakatnya, karena dikampungku boceng ngangkang bagi seorang wanita masih dianggap hal buruk. Kalau tidak, akibatnya minimal jadi buah bibir masyarakat, untungnya tidak seperti di Lhokseumawe, Aceh dimana pemerintahnya melarang setiap wanita bonceng ngangkang dan bahkan kena sanksi atau hukuman.
Dikampungku soal agama masih sangat kental. Masih sangat menjunjung tinggi persoalan akhlak yang nama lainnya bagi orang Madura disebut "tengka" (tingkah-laku). Mari kita rekonstruksi menggunakan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Apakah betul, bagi seorang wanita saat diboceng ngangkang menyalahi nilai agama? Apakah bonceng menyamping termasuk bagian dari akhlak yang baik dan bonceng ngangkang adalah sebaliknya? Bagi saya dan mungkin bagi pembaca mojok.co yang sedikit nakal banyak akal, pasti menjawab dengan singkat; "itu hal biasa, tidak ada kaitannya dengan akhlak apalagi agama".
Lalu mengapa masih dipersoalkan? Jawaban yang pernah saya terima dari sesepuh jadul kampung adalah karena "bonceng ngangkang atau menyamping itu masalah tengka (tingkah-laku) dan tengka tidak ada kitabnya". Oh man... jawaban macam apa ini. Bukankah akhlak atau etika itu bersumber dari agama? Dan bukankah sumber agama (Islam) jelas dari teks suci al-Qur'an dan Sunnah? Kesimpulan cepat saya adalah orang-orang dikampungku masih belum sepenuhnya memahami relasi antara akhlak dan agama.
Bagaimana dari sudut pandang kesehatan? Dari beberapa artikel yang saya baca, justru bonceng menyamping berbahaya bagi kesehatan, menurut dr. Roslan, diantaranya adalah mudah capek dan tidak nyaman, memicu nyeri leher dan punggung, memperburuk kelainan tulang belakang serta trauma tulang belakang. Lagi-lagi kesimpulan cepat saya adalah orang-orang dikampungku masih belum melek terhadap kesehatan, belum melek informasi padahal smartphone sudah merata dikampungku dan memang tingkat pendidikannya masih rendah.
Dari segi keamanan berkendara lebih aman duduk mengangkang. Sebagai contoh, suatu ketika saya membonceng keponakanku dengan posisi duduk menyamping, tiba-tiba roknya masuk dan ditarik gir motor, untungnya cepat berhenti dan tidak terjadi apa-apa. Contoh satu lagi, kejadiannya sama tapi akibatnya beda, yang dibonceng jatuh dari motor terseret hingga beberapa meter lalu meninggal dunia. Dari contoh diatas sebetulnya masih belum memberi efek jera bagi sebagian besar masyarakat terutama dikampungku. O my God, hanya orang-orang yang nggak punya otak yang nggak bisa ambil ibrahnya.
Teringat dengan sebuah karya yang ditulis oleh Presiden RI pertama, Soekarno dengan judul Sarinah. Isi buku tersebut khusus untuk permasalan wanita pada zamannya. Diawal-awal pembahasan buku tersebut, Bung Karno bercerita tentang seorang istri dari seorang bapak pedagang toko kelontong dimana si wanita tersebut diletakkan dibelakang tabir agar tidak kelihatan oleh siapa pun yang berkunjung kerumahnya. Kata Bung Karno, ini jelas memposisikan wanita sebatas hanya di kasur, sumur, dapur dan kalau boleh penulis tambah yang terakhir adalah liang kubur.
Lebih jauh lagi, Bung Karno, dalam buku Islam Sontoloyo, beliau sebagai anggota Muhammadiyah menuliskan kisahnya ketika beliau hadir pada acara mukatamar lalu pergi meninggalkan forum dengan alasan para peserta wanita Muhammadiyah dibatasi oleh tabir. Mengapa? Karena tabir merupakan simbol penindasan dan perbudakan terhadap wanita. "Ini tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai ke-Muhammadiyah-an sebagaimana ditanamkan oleh pendirinya KH. Ahmad Dahlan", kata beliau. Kalau Anda perhatikan di masjid-masjid yang kental Muhammadiyahnya, anda tidak akan menemui tabir barang sehelai pun.
Merujuk pada pandangan Bung Karno diatas, rasanya boleh bagi saya untuk menyebut bonceng dengan cara duduk menyamping adalah bentuk penindasan terhadap kaum hawa. Karena kaum hawa dirugikan secara kesehatan, keselamatan dan pandangan yang seakan-akan itu akhlak.
Ini semua soal tradisi. Tradisi lahir karena kebiasaan. Kita semua bisa mengubah tradisi itu kearah yang lebih baik, yaitu mentradisikan duduk nyamping ke duduk ngangkang, dari anggapan berakhlak buruk ke anggapan hal yang lumrah atau biasa aja, dari yang berbahaya  ke yang menyelamatkan dari segi kesehatan dan berkendaraan, serta dari penindasan terhadap pembebasan wanita. Itu semua saya namakan dengan The New Tradition (tradisi baru).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H