Penerimaan mahasiswa baru melalui berbagai jalur tes masuk kampus memang tidak seramai penerimaan siswa baru dengan polemik dan pro-kontra zonasi. Selama satu bulan penuh (Juli, 2020) dengan penerapan protokol covid-19 dilaksanakan tes masuk kamapus jalur UTBK-SBMPTN.
Peserta yang tidak diterima mungkin akan membuat pilihan hidup. Pertama, dengan mencoba ikut tes mandiri di PTN, jika tidak diterima, maka kampus swasta (PTS) menjadi pilihan akhir, itupun kalau memang masih punya keinginan kuat untuk berpendidikan tinggi. Kedua, langsung masuk dunia kerja.
Kenapa masih mau kuliah? Karena dilandasi oleh berbagai motivasi, misalnya meningkatkan taraf hidup keluarga, gampang mendapatkan pekerjaan dan berbagai motivasi lainnya.
Kalau memang motifnya adalah persoalan ekonomi, bukankah pengangguran berdasarkan tinggkat pendidikan tertinggi kedua disumbang oleh mereka yang pernah merasakan bangku kuliah sebesar 12,49% (BPS, Februari, 2020)? Bandingkan saja dengan pendidikan akhir SD/sederajat 2,64%, SMP/sederajat 5,02% dan SMA/sederajat 15,26% (BPS, Februari, 2020).
Motif persoalan ekonomi bukannya tidak mempunyai dasar. Sejarah membuktikan bahwa pendidikan hanya bisa diakses oleh mereka yang mempunyai jabatan pada zaman penjajahan, selanjutnya mereka yang berduit, yang pada akhirnya mereka memperoleh pekerjaan mapan atau menjadi pengabdi pada korporasi kolonial.
Kembali lagi, bukankah lulusan perguruan tinggi penyumbang terbanyak kedua pengangguran? Artinya, hari ini perguruan tinggi bukanlah jaminan untuk memperoleh pekerjaan.
Untuk mengatasi permasalahan diatas, pada tgl 4 Juli 2020, dalam acara pengukuhan Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Menko PMK, Muhadjir Effendy, mengatakan yang intinya adalah memastikan perguruan tinggi sesuai dengan industri (CNN Indonesia, 4/7/2020). Sekilas memang pernyataan tersebut menjanjikan bagi mereka yang kuliahnya bermotifkan persoalan ekonomi.
Ini tak ubahnya perguruan tinggi disamakan seperti mesin industri dan mahasiswa adalah calon 'robot' industri. Inputnya calon mahasiswa, diproses sedemikian rupa untuk menjadi pekerja dan outputnya adalah pekerja industri.Â
Kalau memang seperti itu tujuannya, lalu apa tujuan dibuatnya program kartu prakerja yang menghabiskan uang triliunan rupiah APBN kalau bukan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang skillful?
Untuk apa diselenggarakannya SMK dan Sekolah Vokasi kalau bukan untuk mencetak pekerja ahli dan profesional? Bukankah data BPS, Februari, 2020 menunjukkan lulusan SMK penyumbang pengangguran 8,49% dan lulusan Vokasi 6,76%?