Tiga belas tahun (29 Agustus 2005-2018) seorang tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia meninggalka kita semua untuk selamanya. Tokoh tersebut adalah Cak Nur, sapaan akrab almahum Prof. Dr. Nurcholish Madjid pada masa kecilnya bercita-cita ingin menjadi masinis. Namun, sejarah mencatatnya 'masinis' pembawa 'lokomotif' perubahan bagi rakyat Indonesia utamanya umat Islam dalam pembaharuan pemikiran Islam.
Karier intelektualnya, sebagai pembaharu pemikiran Islam, dimulai pada masa di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang dikenal dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), sepanjang sejarah perjuangan HMI hanya Cak Nur yang menjabat sebagai ketua umum selama dua periode, yang dianggapnya sebagai "kecelakaan sejarah" pada 1966-1968 dan 1969- 1971.Â
Selama menjabat Ketua Umum PB HMI 1969, ia menulis sebuah buku saku kecil HMI, yang disebut Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, utamanya dalam setiap pertrainingan HMI dari basic training (Latihan Kader I), intermediate training (LK II) hingga advance training (LK III).
Saya mengenal Cak Nur sejak saya menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Banyuanyar Pamekasan (2006-2012). Perkenalanku dengan Cak Nur dimulai dari telinga ke telinga antar santri dengan konotasi negatif, misalnya menyebut Cak Nur adalah orang sesat, sekular, liberal dan bahkan -- maaf -- beliau disebut kafir, proses perkenalan itu pun berlanjut kegemaranku dalam membaca buku, celakanya salah satu buku yang tersedia di toko buku pesantren adalah buku biografi orang-orang (yang dianggap) sesat, yang tampak jelas di sampul tersebut adalah wajah Cak Nur. Namun, saya tidak membeli apalagi membacanya.
Selang satu tahun lulus dari pesantren, saya melanjutkan studi di perguruan tinggi swasta (STEI Tazkia Bogor). Keinginan kuat untuk berorganisasi tidak dapat menghalangiku, HMI adalah organisasi yang saya pilih.Â
Sebagai organisasi kader, setiap mahasiswa Islam yang ingin menjadi anggota HMI wajib mengikuti LK I, disinilah saya dipertemukan dengan seorang senior yang menganjurkan saya untuk membaca buku karya-karya Cak Nur. Saya hanya mampu bergumam dalam hati "kenapa yang dulu saya benci karena konotasi negatifnya waktu di pesantren malah di suruh membaca karya-karyanya".
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan "cinta dan bencilah sewajarnya, kerena apa yang kau cintai suatu saat engkau akan membencinya, begitupun sebaliknya".Â
Kira-kira seperti itulah pengalamanku mengenal Cak Nur yang akhirnya saya sangat menyukai Cak Nur melalui karya-karyanya yang memenuhi rak bukuku. Karya-karya beliau sungguh luar bisa dan masih relevan untuk dibaca dengan kondisi keislaman dan keindonesiaan saat ini.
Sebagai tokoh pembaharuan pemikiran Islam, beliau sangat produktif dalam karya pemikirannya. NDP yang mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan cendekiawan Muslim saat itu, kemudian berlanjut pada sebuah buku Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan yang isinya adalah berbagai tulisan artikel Cak Nur yang salah satu artikelnya membuat penilaian sebagian kalangan berubah.Â
Pemicunya adalah pidato Cak Nur yang berjudul "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat" yang disampaikan dalam sebuah pertemuan di Taman Ismail Marzuki sekitar awal tahun 70-an.Â
Dalam pidato ini meski tetap menolak sekularisme, Cak Nur menganjurkan "sekularisasi" atau pembebasan terhadap pandangan-pandangan keliru yang telah mapan karena kaum Muslimin Indonesia pada saat itu telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force dalam perjuangannya.
Cak Nur menjelaskan bahwa Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab "secularism is the name for an ideology, a new closed world viewwhich function very much like a new religion." Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development.Â
Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.Â
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.
Didalam pidato tersebut Cak Nur melontarkan"Islam,Yes, Partai Islam, No!" yang memicu perdebatan luas. Beliau menjelaskan bahwa sangat sedikit ummat Islam yang tertarik terhadap partai Islam. Jika menganggap perjuangan ide-ide yang Islami melalui partai-partai Islam itu tidak menarik, absolut memfosil dan justru kehilangan dinamika. Ditambah lagi partai-partai Islam hanya sebagai sarang para koruptor. Jadi, disinilah pentingnya sekularisasi, bahwa memilih partai itu bukan merupakan sesuatu yang sakral, itu hal biasa saja.
Dua tahun menjelang wafatnya pada tahun 2003, Cak Nur sempat bersedia dicalonkan sebagai presiden untuk pilpres 2004 dengan alasan Cak Nur gundah dengan kondisi politik saat itu. Bahkan beliau menyiapkan 10 plaform membangun kembali Indonesia sebagaimana terekam dalam karya terakhirnya "Indonesia Kita".Â
10 platform tersebut diantaranya adalah (1) mewujudkan good governance (2) menegakkan supremasi hukum (3) melaksanakan rekonsiliasi nasional (4) merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah (5) mengembangkan dan memperkuat pranata demokrasi: kebebasan sipil, pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintah, perwakilan dan pengadilan (6) meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional (7) memelihara keutuhan wilayah Negara (8) meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan (9) mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (10) mengambil peran aktif dalam usaha bersama usaha menciptakan perdamaian dunia.Â
Meskipun beliau menarik kesiapannya karena kondisi politik saat itu belum bebas dari politik uang (money politic), semoga diantara dua capres yang akan berkontestasi pada 2019 melanjutkan 10 platform diatas.
Melihat pemikiran-pemikiran Cak Nur diatas, sungguh beliau adalah seorang Intelektual Muslim yang seratus tahun melampaui masanya. Memang pemikiran beliau mendapat tanggapan negatif yang berlebihan pada saat itu, tetapi beda dengan sekarang yang masih relevan dengan kondisi bangsa saat ini apalagi menjelang pilpres 2019 yaitu perlunya kita membaca, memahami dan melaksanakan apa yang sudah digagas oleh Cak Nur sejak puluhan tahun yang lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H