Sejak beberapa tahun terakhir, tren penggunaan vape di Indonesia terus meningkat. Rokok elektrik yang pada awalnya dipasarkan sebagai alternatif “lebih aman” untuk rokok tembakau, kini menjadi sebuah tren budaya populer di masyarakat Indonesia, termasuk perempuan.
Pada tahun 2023, Indonesia menempati posisi pertama sebagai pengguna rokok elektrik/vape di sejumlah negara di dunia.
Sekitar 25% penduduk Indonesia usia 18-64 tahun pernah menggunakan vape, dan sekitar 36% pengguna ini adalah perempuan. Beberapa di antara perempuan tersebut menggunakan hijab hingga memunculkan sebuah tren hijab vapers di kalangan pengguna rokok elektrik.
Bagi sebagian besar orang, rokok elektrik dianggap sebagai subtitusi dari rokok tembakau. Banyak pengguna rokok tradisional beralih menggunakan vape karena ingin berhenti mengonsumsi rokok tembakau. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa rokok elektrik atau vape “lebih aman” dibandingkan dengan rokok tembakau.
Penelitian dari National Center for Biotechnology Information (NCBI) membuktikan bahwa penggunaan Electronic Nicotine Delivery System (ENDS) bisa mengurangi ketergantungan pada rokok tembakau hingga 44%. Meskipun begitu, rokok elektrik tetaplah rokok yang mengandung nikotin walaupun dalam kadar yang mungkin lebih rendah dibandingkan dengan rokok tradisional.
Penggunaan rokok elektrik dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak kesehatan yang kompleks seperti gangguan fungsi jantung, kerusakan pada organ pernafasan, meningkatkan risiko kanker dan lain sebagainya.
Melansir dari siloamhospitals, vitamin E asetat yang terdapat pada vape dapat menyebabkan kerusakan paru terkait penggunaan rokok elektrik atau e-cigarette or vaping – associated pulmonary injury (EVALI).
Pada kasus hijab vapers sendiri sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahaya rokok bagi kesehatan perempuan terutama bagi kesehatan reproduksi. Dilansir dari halodoc, gangguan kesehatan pada perempuan akibat penggunaan rokok elektrik di antaranya adalah kerusakan DNA yang berakibat pada gangguan kesuburan dan menopause dini serta kerusakan otak dan paru-paru janin pada ibu hamil.
Sementara itu, di mata masyarakat hijab vapers masih dianggap sebagai hal yang tabu. Karena masih banyak masyarakat yang memandang fenomena perempuan berhijab yang menggunakan rokok elektrik sebagai hal yang sama buruknya dengan perempuan yang mengonsumsi rokok tembakau.
Perempuan berhijab yang merokok sering dipandang sebagai perilaku yang mengotori agama dan menyimpang dengan kodratnya sebagai perempuan. Hal ini disebabkan karena rokok sering diidentikkan dengan maskulinitas dan tidak cocok dengan perempuan.
Padahal dalam segi bentuk, rasa, dan aroma tidak sedikit dari produk vape yang didesain untuk perempuan. Dibuktikan dengan banyaknya produk vape yang memiliki varian warna-warna pastel serta varian rasa stroberi, anggur, apel dan sebagainya yang identik dengan perempuan.
Para hijab vapers sendiri menolak pandangan masyarakat yang mengaitkan hijab dengan vape sebagai perilaku yang bertentangan dengan agama. Menurutnya, pilihan untuk mengenakan hijab berasal dari tuntutan agama sebagai seorang muslim, sedangkan pilihan untuk menggunakan vape adalah pilihan pribadi bagi masing-masing orang.
Mereka memandang pilihan menggunakan vape adalah sebuah bentuk kebebasan berekspresi. Terlebih potensi ekonomi yang ditawarkan pada pengguna vape yang lihai memainkan trik vaping cukup menjanjikan.
Beragam trik penggunaan vape yang para hijab vapers ini tampilkan di media sosial dapat menarik minat produsen rokok elektrik untuk menjadikan mereka sebagai brand ambassador atau sekedar melakukan endorsement dari berbagai brand produk rokok elektrik.
Dari perspektif sosial, fenomena hijab vapers bisa dilihat sebagai bentuk perjuangan perempuan untuk mendapatkan ruang kebebasan dalam masyarakat yang kerap membatasi ekspresi dan perilaku mereka. Teori feminisme menyoroti bagaimana aturan-aturan gender sering kali mengikat perempuan pada peran tertentu.
Dalam konteks ini, hijab vapers menunjukkan bahwa perempuan berhijab tidak terikat oleh norma tertentu dan berhak menentukan pilihan hidup mereka tanpa khawatir pada stigma sosial. Bagi banyak hijab vapers, vaping menjadi simbol kebebasan diri, membantu mereka melepaskan diri dari kontrol sosial yang ketat.
Dengan kata lain, mereka tidak hanya mencari kesenangan pribadi tetapi juga secara tidak langsung menantang batasan masyarakat mengenai bagaimana perempuan (terutama yang berhijab) “seharusnya” bertindak.
Melalui tren ini, mereka menunjukkan bahwa perempuan berhak membuat keputusan sesuai nilai dan pandangan mereka sendiri, bebas dari pandangan tradisional tentang seperti apa perempuan berhijab semestinya.
Fenomena hijab vapers ini menunjukkan bagaimana perempuan berhijab di Indonesia berusaha memperjuangkan hak untuk mengekspresikan diri dan menentukan pilihan hidup mereka yang sering kali dianggap bertentangan dengan norma sosial dan agama.
Dengan menggunakan teori feminisme, fenomena ini dapat dipahami sebagai bagian dari upaya perempuan untuk mengklaim otonomi tubuh dan hak mereka atas kebebasan berekspresi.
Namun, perlu diingat bahwa vaping tetap membawa risiko kesehatan yang serius, terutama bagi organ reproduksi. Maka dari itu, kesadaran akan risiko kesehatan dari vaping perlu disebarluaskan, termasuk kepada komunitas hijab vapers, sehingga kebebasan mengekspresikan diri dapat tercapai tanpa mengorbankan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H