Mohon tunggu...
Hamid Anwar
Hamid Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - PNS Kelurahan

Pegawai kantor yang santai, sambil mengelola blog pribadi http://hamidanwar.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nostalgia Tiang Listrik

22 November 2017   11:23 Diperbarui: 22 November 2017   11:52 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sehabis mengaji di tempat Pak Zabidi, seorang ustadz guru ngaji yang disegani anak-anak sekampung - tapi sering kami plesetkan namanya menjadi 'penyihir jahat babidy' --, kami biasa mampir ke tiang listrik. Tiang listrik yang berada persis di tengah perjalanan antara mushala dan tempat ngaji.

"Hom pipmah seje dewe me-gasang!"

Kami kompak menumpuk dan menggoyangkan tangan untuk menentukan siapa yang akan berjaga dalam petak umpet malam itu.

Menjadi si gasang adalah mimpi buruk. Seolah mereka yang bisa bersembunyi adalah orang-orang yang bisa bersenang-senang sedangkan menjadi si gasang, hidupnya gersang. Akhirnya si gasangterpaksa menutup mata dengan menyandarkan jidatnya ke tiang listrik. Di kampung saya, tiang listrik terlalu kaku bahasanya, kami menyebutnya 'teng-tengan' karena jika dilempar dengan batu, berbunyilah ia.. teng! Teng!Ya betul, kalau lemparannya kena.

Diantara banyak teman saya, ada tiga orang yang pintar bersembunyi. Jangan dulu bicara tentang sembunyinya Pak Setnov, sabar, nanti saya ceritakan di akhir. Fandi, teman saya yang paling lincah karena badannya cukup kecil dan gesit, biasa lari-larian. Kalau sudah umpetan, ia tak hanya bersembunyi di satu titik, tapi satu kampung pun rela ia kelilingi hanya untuk mencari kesempatan menyentuh teng-tengan duluan tanpa diketahui si gasang.

"Hong, ji ro lu!" Ujarnya gembira penuh kebangaan. Sambil kembali memakai sandal karena sedari tadi lari, sandalnya dicangking.

Lain lagi dengan Anton, anak pertama dari seorang pemuda Jawa bernama Cina. Li, begitu biasa bapaknya dipanggil di kampung. Nama lengkapnya saya kurang ingat persis, sepertinya Yuliyanto. Semoga tidak salah.

Suatu malam, Anton kami cari-cari tidak ketemu, padahal waktu sudah larut malam. Pasti emak kami sudah rindu anak-anaknya pulang kemudian belajar karena besok mesti sekolah. Usut punya usut, ia ternyata terlalu asik bersembunyi di kandang kambing. Ya, tidak salah. Kandang kambing yang lokasinya hanya sepelemparan kotoran kambing dari teng-tengan. Bedebah! Dari tadi dia santai-santai saja disana tanpa menghiraukan aroma-aroma yang akan hinggap di tubuhnya.

Kurang elok rasanya jika hanya teman-teman saya saja yang saya ceritakan kegilaannya dalam rangka bersembunyi ini. Saya pun tak kalah ekstrim, lho!

Jadi ceritanya gini.

Waktu itu, saya mencari-cari tempat yang kira-kira tidak mudah ditemukan untuk bersembunyi. Hingga akhirnya saya menemukan kompleks dapuran pring(rumpun bambu). Dalam kegelapan malam yang hanya ditemani sinar sang rembulan, saya mengendap-endap pelan mencari-cari celah untuk dapat bersembunyi di sekitar dapuran pring tersebut. Dasar namanya anak ingusan dan anak modal nekat, begitu melihat sebuah ruangan sempit di dalam rumpun bambu itu, saya seketika melesat ke dalam. Oh sungguh gelap.. Mungkin seperti berada di liang kubur. Saya duga-duga, tempat ini adalah tempat favorit bertelurnya ayam babon.

Tetapi bukannya takut atau ngeri, saya justru merasa aman. Mana ada si gasang berani mendekati dapuran pring ini?

Tetapi toh rupanya saya mulai digigiti nyamuk. Sudah kira-kira lima menit dan tidak ada tanda-tanda si gasang mencari saya.

"Semprul!" batin saya.

Terasa sekali, banyak lugutmenempel di badan saya. Rasanya geli geli gatal. Obatnya hanya satu, di gesek gesek pakai rambut. Nah loh! Akhirnya saya pun keluar dari persembunyian dan menyerah dari ganasnya dapuran pringyang nggak punya dapur tersebut.

**

Itulah kegiatan saya dan anak sekampung saya dua dekade lalu. Ketika anak-anak masih suka main di luar, ketika kami menunggu datangnya padhang mbulan.Ketika Nintendo masih menjadi barang super mewah, yang memainkan stiknya harus sambil gerak badannya.. Padahal stiknya bentuknya persegi panjang. Dan permainannya ya cuma Super Mario Bros.

Teng-tengan sumber kebahagiaan itu hingga kini masih awet. Tapi bedanya sekarang sudah tidak bunyi teng! Ya emang siapa yang mau ngelemparin tiang listrik dengan kerikil? Kayak kurang gawean aja. Mending ditubruk pakai fortuner, lak malah kekinian, to?

Beda tiang, beda cerita.

Tiang listrik yang berada sekitar 300 meter dari teng-tengan petak umpet tadi, juga tidak kalah membawa kenangan. Alkisah, tiang listrik itu biasa kami gunakan sebagai tempat kongkow di hari Minggu pagi.

Mendekati tahun 2000-an, adalah masa keemasan dunia pertelevisian anak-anak. Setiap minggu pagi, kami biasa membeli bubur sayur secara berjamaah. Sekedar informasi, sarapan pagi dengan bubur sayur di tempat kami adalah sebuah kewajaran dan prestis. Apalagi ditambah gorengan yang hangat-hangat.

Nah setelah selesai makan bubur, kami biasa berburu serangga bernama ampal yang biasa menempel pada lampu neon yang terpasang di tiang listrik tersebut. Jika pas musim, jumlahnya bisa bejibun. Bahkan banyak diantara mereka yang jatuh ke tanah dan banyak pula yang tidak bisa membalikkan badan dan telentang tanpa bisa kemana-mana. Ampal-ampal itu kami kumpulkan dan kami lepas lagi. Melihat mereka terbang satu-persatu adalah sebuah kebahagiaan hakiki yang bisa kami peroleh sembari menunggu film Dragon Ball yang tayangnya cuma setengah jam seminggu sekali itu.

Saya akui, masa kecil saya adalah masa jahiliyahdi mana ilmu pengetahuan bahkan sangat sulit saya cerna. Maka beredarlah rumor diantara kami bahwa kabel sling kawat sebagai penguat tiang listrik kami anggap masih berhubungan dengan aliran listrik itu. Rumornya adalah sebagai berikut, jika kabel sling itu kami beri (maaf) ingus, maka aliran listrik akan padam. Lha kok ndilalah, siangnya memang listrik padam.

"Iki mesti gaweane Fandi, mau, kawate dikei upil, marakke listrike mati! Wedhus!"

**

Jauh sebelum #savetianglistrik merajai trending topic beberapa waktu belakangan, lebih dari dua dekade lalu, tiang listrik sudah bersama-sama kami save dan kami lestarikan sebagai salah satu aset pendukung permainan kami.

Jauh sebelum Pak Setnov bermain umpet-umpetan dengan KPK, kami lebih dulu hadir sebagai pelopor petak umpet yang melibatkan tiang listrik.

Dan jauh sebelum tiang listrik tetap utuh setelah ditabrak Fortuner, kami lebih dulu membuktikan bahwa upildapat memutuskan aliran listrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun