Mohon tunggu...
Hamida Umalekhoa
Hamida Umalekhoa Mohon Tunggu... Institut Tinta Manuru -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan dalam Kontestasi Politik

10 November 2017   21:57 Diperbarui: 10 November 2017   22:09 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentalitas perempuan Indonesia yang berkiprah diranah politik dapat dibuktikan dengan representase perempuan dalam kanca politik yang dapat mempengaruhi sistem serta kebijakan, baik secara struktural maupun non-struktural. Megawati Soekarno Putri, adalah salah satu perempuan yang dikenal sebagai sosok perempuan pertama yang menduduki kursi presiden, Dia juga dikenal sebagai perempuan tangguh yang memiliki pengaruh dalam sistem pemerintahan di negeri ini.

Selain itu, Sri Mulyani dengan talentanya dibidang ekonomi dia juga memiliki andil secara politik sehingga dapat menduduki struktur kabinet dari era Susilo Bambang Yudoyono hingga era Jokowi, perempuan satu ini, bukan saja dikenal sebagai perempuan yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara Nasional melainkan juga secara Internasional. Itu artinya, ketangguhan perempuan secara Nasional tidak diragukan.

Namun, mentalitas perempuan secara umum yang dapat mempengaruhi kebijakan tidak dapat dijadikan sebagai salah satu hipotesa bahwa perempuan Indoensia secara umum mampu berkiprah melawan arus politik dibangsa ini dengan mengandalkan kesempatan berpolitik dengan indikator kuota 30 persen. Ketegasan kuota 30 persen atas keterlibatan perempuan wajib untuk dijadikan sebagai salah satu bentuk kesempatan untuk membimbing serta melatih diri secara personal sebelum memasuki ajang perebutan kekuasaan.

Kuota 30 persen tidak serta merta dijadikan sebagai suatu kewajiban atas kesempatan perempuan untuk berkiprah pada ranah politik, tanpa melihat kualitas diri secara personal, dengan ketegasan undang-undang tersebut sudah seharusnya dapat dijadikan sebagai teguran terhadap perempuan untuk meningkatkan kualitas diri agar kuota tersebut tidak terkesan suatu keterpaksaan lembaga untuk melibatkan perempuan dalam politik.

Mestinya kuota 30 persen ini dapat dijadikan sebagai alasan keterwakilan perempuan dalam mempertaruhkan ide dan gagasan, bukan sekedar menjadikan perempuan sebagai pelengkap struktural. Undang-undang khusus  yang dapat membentuk persepsi individu pada pada tiap-tiap lembaga bahwa kehadiran perempuan merupakan bentuk pengejewantahan keterwakilan perempuan. Padahal, selain dengan adanya undang-undang kuota tersebut perempuan dan laki-laki meiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih.

Perempuan yang masih dengan keterbatasan pemahaman dalam berpolitik dengan terpaksa diikutsertakan dalam lembaga politik, tentunya hanya semata-mata sebagai pemenuhan syarat undang-undang tersebut. Keterlibatan perempuan seperti inilah sehingga tidak sedikit perempuan memilih apatis dalam mengambil bagian dalam wacana politik.

Sementara sebagian perempuan yang memiliki talenta berpolitik, sudah barang tentu akan di habisi dengan dalih penekanan budaya untuk mendikriminasi kepentingan perempuan secara personal. Persoalan seperti ini, tentunya akan berdampak pada kebijakan yang berpihak terhadap perempuan.

Wacana dan dinamika politik sebagai ajang pertarungan ide dan gagasan bukan semata-mata dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk meraih kekuasaan politik. Namun, sekurang-kurang-nya dalam wacana tersebut perempuan dapat membuktikan kualitas diri yang dimiliki sehingga perebutan kekuasaan yang dilakukan tidak sekedar dilihat sebagai bentuk langkah cepat mengejar kuota.

Pada masa-masa sebelumnya, Keterlibatan perempuan dalam politik dapat ditandai dengan keseriusan perempuan memperjuang hak-hak perempuan dan anak di semua sektor, baik sektor ekonomi, politik, sosial budaya, hukum, pendidikan serta meningkatkan status perlindungan anak dalam hukum.

Meskipun secara kuantitas perempuan sangat sedikit dalam perpolitikan di era sebelumnya. Namun, perempuan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Padahal, jika dilihat dari aspek kuantitas tidak representasi sebab jumlahnya sangat sedikit, kualitaslah yang diandalkan dalam merealisasikan  hak perempuan dalam berpolitik.

Kuota 30 persen dalam ketegasan undang undang tentang partai politik benar adanya sebagai bentuk penghargaan negara atas hak perpolitikan perempuan. Namun, kuota tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh perempuan secara keseluruhan sebagai bentuk penghargaan, hal ini dapat di lihat pada pemilihan legislatif tahun 2014 silam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun