Disaat semua orang terlalu fokus dengan pergerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dianggap sebagai ancaman utama kedaulatan RI dari arah dalam, ternyata ada ancaman dari luar yang mungkin banyak warga indonesia sudah lupa atau bahkan tidak tahu sama sekali dengan aggresivitas China tentang klaim mereka terhadap Laut China Selatan (LCS) yang ternyata sangat berbahaya bagi kedaulatan negara Indonesia di masa depan. Lalu bagaimana detail konflik ini dimulai dan apa kerugian Indonesia jika China berhasil mengklaim secara resmi perairan seluas 3,5 juta km ini?
Sejarah Konflik LCS
Sengketa Laut China selatan dimulai pada tahun 1948, saat itu China menerbitkan peta LCS dengan 9 garis putus-putus (nine dash line ) dan menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut termasuk Kepulauan Spartly dan Paracel sebagai wilayah teritorinya. Namun sengketa LCS benar-benar dimulai setelah China mendaftarkan wilayah dalam peta tersebut ke PBB pada tahun 2009.Â
China beralasan klaim tersebut berdasarkan pada sejarah China kuno, mulai dari Dinasi Han yang berkuasa pada abad 2 SM sampai dengan Dinasi Ming dan Dinasi Qing abad 13 SM yang mana saat itu LCS merupakan traditional fishing ground atau kawasan penangkapan ikan tradisional mereka. Klaim China itu membuat beberapa negara seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina hingga Taiwan mencak-mencak karena mencaplok wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka yang sesuai dengan kesepakatan UNCLOS tahun 1982.
Negara yang Terlibat KonflikÂ
Secara garis besar, selain klaim China yang menganggap sebagian besar wilayah LCS sebagai wilayah kekuasaannya. Beberapa negara lain juga saling mengklaim satu sama lain, Seperti Vietnam yang mengklaim kepemilikan Kepulauan Paracel dan Kepualaun Spratly, yang mencakup hampir seluruh wilayah LCS. Kemudian ada negara kepulauan, Filipina yang mengklaim sebagian area LCS utamanya kepulauan Spartly atau Kepulauan Kalayaan dan beberapa kepulauan di sebelah barat Filipina yakni Scarborough Shoal.Â
Lalu ada dua negara serumpun indonesia yaitu Brunei dan Malaysia yang mengklaim bagian selatan LCS dan sebagian Kepulauan Spratly. Selain itu ada juga taiwan yang mengklaim Pulau Itu Aba (Taiping) dan Pratas (Tungsha). Bahkan menurut Profesor John Blaxland dari Universitas Nasional Australia (ANU), perairan seluas 3,3 juta kilometer persegi ini merupakan wiilayah yang paling banyak diperebutkan di dunia saat ini.
Agresivitas China di Perairan NatunaÂ
Tak hanya negara tetangga ASEAN saja, dalam peta LCS versi China tahun 2009 itu juga menyeret Indonesia karena dalam peta tersebut juga merembet ke wilayah Laut Natuna utara di kepulauan Riau. Fyi Laut Natuna Utara sebenarnya merupakan wilayah yang berada di ujung selatan Laut Cina Selatan yang masuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Nama Laut Natuna Utara sendiri ditetapkan Indonesia pada tahun 2017, namun sempat ditentang China dengan alasan wilayah tersebut merupakan wilayah laut mereka berdasarkan jejak sejarah masa lalu. Jika menilik Deklarasi Juanda 1957 yang didaftarkan ke persyerikatan bangsa-bangsa (PBB) pada 2009, sesuai konvensi hukum Laut internasional tahun 1982 atau United Nation Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) wilayah laut Indonesia di sekitar LCS berpatokan pada pulau-pulau terluar pada gugusan kepulauan Natuna. Jadi perairan Natuna sepenuhnya milik Indonesia.
Namun China yang merasa superior tidak mengindahkan peraturan tersebut, seperti yang terjadi pada 19 Maret 2016, saat Kapal Kway Fey 10078 yang berisikan nelayan China ditangkap Kapal Pengawas Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan saat hendak menangkap ikan di laut Natuna. Suasana mulai memanas saat pihak Indonesia hendak menahan 8 abk kway Fey, tiba-tiba datang kapal pengawas China yang menghalangi jalannya operasi penangkapan dengan menabrak kapal Kway Fey. Selain konflik ilegal fishing yang tak terhitung jumlahnya, pada tahun 2021 China juga sempat meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah Laut Natuna Utara.
Harta Karun Dibalik Luasnya Laut NatunaÂ
Selain memiliki sumber daya hayati dan hewani yang melimpah. Laut Natuna juga memiliki harta karun berupa cadangan gas alam yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di Asia Pasifik. Gas alam tersebut ada yang sudah di produksi seperti di blok South Natuna Sea, Block B, Natuna Sea Blok A, dan Blok Kakap. Lalu ada yang masih dalam tahap pengembangan seperti blok Duyung dan blok North West Natuna. Hingga yang masih dalam tahap eksplorasi seperti blok Anambas, North sokang, Tuna dan East Natuna. Dengan potensi sebesar itu, tak heran jika China juga mengincar laut Natuna, tugas kita sebagai warga negara adalah menjaga semaksimal mungkin kekayaan alam tersebut, jangan sampai jatuh ke tangan negara lain.
Bagaimana Peran Indonesia sebagai Negara Terkuat di ASEAN?
Sebagai negara maritim dan dianggap sebagai negara paling kuat dari segi kekuatan militer di Asean. Langkah Indonesia dalam penyelesaian kasus ini memang kerap jadi sorotan. Sejauh ini yang bisa dilakukan Indonesia adalah menjadi playmaker atau penengah. Seperti pada tahun 2023 lalu, Indonesia menjadi inisiator dalam proses negosiasi antara Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan China yang bersepakat untuk menyelesaikan perundingan pedoman tata perilaku (code of conduct/CoC) di Laut China Selatan dalam 3 tahun.Â
Dalam pedoman ini berisi tentang aspirasi ASEAN-China untuk menyelesaikan CoC dalam 3 tahun atau kurang melalui pembahasan secara intensif terhadap isu-isu yang selama ini tertunda, tujuannya CoC dapat menjadi aturan tata perilaku yang merefleksikan norma, prinsip, dan aturan internasional yang sesuai pada hukum internasional dalam menciptakan perdamaian di antara negara yang berkonflik di LCS. Jadi tunggu saja apakah negosiasi itu akan sukses atau China kembali mengingkari seperti yang sudah-sudah.
Jebakan China yang Harus Indonesia Sadari
Alih-alih panik saat dikepung negara-negara Asean, China justru tampil santai dengan strategi politik yang cerdik. Seperti saat mereka mendirikan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada tahun 2010 yang merupakan kerjasama perdagangan bebas antara China dengan negara ASEAN. Ada yang menilai ini adalah "sogokan" China agar membuat negara ASEAN melunak di kasus LCS dan salah satu langkah China dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk konflik Laut China Selatan.
Skenarionya seperti ini, misalnya negara-negara ASEAN bersatu melawan China dalam terbuka, maka China menggunakan kesepakatan ACFTA sebagai kartu AS mereka dengan cara menarik investasi dari kesepakatan tersebut yang pada akhirnya bisa berdampak buruk bagi perekonomian negara-negara Asean.
Hubungan Indo-China Diambang Perpecahan?
Tak bisa dipungkiri hubungan indonesia dengan china di era presiden Jokowi memang begitu dekat. Bagi China, Indonesia merupakan negara dengan pangsa besar yang sangat potensial bagi perkembangan bisnis mereka di Asia Tenggara. Bagi Indonesia, China merupakan negara kaya yang berjasa dalam pembiayaan berbagai pembangunan dan insfratruktur seperti waduk terbesar jati gede, tol Medan-Kualanamu hingga Mega proyek kereta cepat Indonesia -China (KCIC) Jakarta Bandung.Â
Tentu sebagai negara yang berbudi luhur, kita harus bisa memposisikan diri sebaik mungkin, jangan sampai melakukan sesuatu yang bisa membuat negara sahabat seperti China marah. Namun di sisi lain Indonesia juga harus tegas dalam menjaga LCS agar tidak dianggap remeh negara lain.
Solusi paling efektif untuk menangani kasus LCS?
Bagi Indonesia, hal yang paling urgen saat ini adalah dengan memperkuat armada dan personil militer yang berjaga di Laut Natuna untuk meminimalisir kapal ilegal dari China masuk ke perairan tersebut, apalagi sejak beberapa tahun lalu China dikabarkan sudah membangun pulau buatan yang menjadi markas militer mereka di area LCS. Bahkan dari peta LCS versi China yang keluar  Agustus 2023, China mengubah sembilan garis putus-putus di peta LCS versi mereka menjadi sepuluh dengan memasukkan seluruh perairan Taiwan, seharusnya hal itu menjadi pendorong bagi pemerintah untuk meningkatkan keamanan di Laut Natuna.
Selain itu Indonesia harus tegas dalam melakukan legal enforcement atau penegakan hukum terhadap setiap kapal yang melakukan ilegal fishing di Natuna, tak terkecuali kapal dari negara China. Disisi lain Indonesia tidak mungkin terlibat konfrontasi terbuka, selain faktor geopolitik dan hubungan bilateral antar kedua negara, kekuatan alutista Indonesia juga belum sebanding dengan China. Jadi satu-satunya solusi adalah melakukan diplomasi politik dengan pemerintah China serta membawa kasus ini ke pengadilan internasional agar batas laut masing-masing negara bisa ditetapkan sesuai hukum yang berlaku. Selain itu partisipasi masyarakat juga dibutuhkan, seperti mengangkat kasus laut Natuna yang sesuai dengan fakta yang ada ke berbagai forum diskusi offline ataupun online, baik itu didalam negeri ataupun di luar negeri. Agar semua orang tahu siapa pemilik Laut Natuna yang sebenarnya.
Ancaman China di Laut Natuna itu nyata adanya, oleh karena itu partisipasi setiap elemen masyarakat sangat dibutuhkan, bukan hanya tanggung jawab pemerintah, TNI Al ataupun Polairud, tapi juga tanggung jawab kita semua. Jika kita bersatu, maka kita akan berkuasa. Seperti motto TNI Al yang berbunyi Jalesveva Jayamahe yang berarti "Justru di Lautan Kita Jaya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H