Seperti biasa, sore ini jalanan ramai menjelang berbuka. Suara deru kendaraan bersautan dengan suara sepatu pejalan kaki. Suara klakson nyaring bersautan dengan suara penjaja tawarkan takjil di tepi jalan. Pemandangan wajar di sebuah pojok kota metropolitan.Â
Layaknya kegiatan yang sama yang terus terulang. Ada seorang paruh baya yang biasa berdiri di depan warung makan. Pak Dul namanya, setiap sore di bulan ramadhan selalu berdiri mengamati ratusan orang yang lalu lalang. Dia memang menunggu seseorang, di antara para pejalan yang mayoritas karyawan kantoran.Â
Lewatlah seorang tua gelandangan, dia terlihat bimbang dengan membawa kresek sebagai tentengan (bawaan). Tiba-tiba Pak Dul mendekati si orang tua gelandangan, dicium tangannya, di ajaknya masuk ke warung makan. Hal yang mengherankan? Tentu tidak karena ini hal yang biasa Pak Dul lakukan. Siapapun orang tua yang lewat selalu ini yang ia lakukan, ia dekati, ia cium tangannya dan ia ajak masuk rumah makan.Â
Untung tak ada karyawan atau pemilik rumah makan yang melarang. Entah siapapun, bagaimana pun kondisi orang tua yang diajak Pak Dul ke dalam. Pasti mendapat pelayan layaknya tamu undangan dan bisa makan gratis tanpa bayar. Alasannya sederhana karena Pak Dul si empunya rumah makan.Â
Pak Dul dan Kebiasaan di sore Ramadhan
Sore akhirnya datang dan Pak Dul masih berdiri di depan rumah makan. Ia tak khawatir dengan para karyawan karena istrinya dengan sigap menghandle semua pekerjaan. Toh dari pagi semuanya sudah ia dan istrinya siapkan. Tak masalah berapa banyak pun pelanggan yang datang, warung makan sudah siap beri pelayanan.Â
Sore ini Pak Dul mengenyitkan dahi, tak ada orang tua yang lewat sama sekali. Hanya para pekerja-pekerja pabrik dan perusahaan yang sibuk mengejar masalah duniawi. Sedih rasanya jika tak ada orang tua yang bisa ia ajak makan untuk buka puasa hari ini. Pak Dul pasti tetap berdiri hingga sang muadzin kumandangkan adzan tanda waktu berbuka telah datang.Â
Tak ada yang tahu alasan Pak Dul berdiri di setiap sore hari. Mencari dan mengajak para orang tua tuk disalami dan berbuka bersama di warung tempatnya mencari rezeki. Orang-orang hanya tahu seorang Pak Dul si dermawan yang suka berbagi.Â
Pernah suatu waktu ada wartawan yang ingin tahu. Namun sayang tak ada jawaban yang pasti hanya ada jawaban jika Pak Dul cuma ingin berbagi. Namun saat liputan itulah banyak orang yang baru tahu bahwa Pak Dul bernama lengkap 'Idul Fitroni. Pemilik warung makan ini memiliki seorang istri dan anak bayi. Tak ada yang tahu dari mana asalnya dan dimana sanak keluarganya. Mereka hanya tahu Pak Dul si pemilik warung yang suka berbagi.Â
Pak Dul memang suka berbagi, sudah tiga tahun kebiasaan ini dimulai. Pak Dul bukan seorang yang mencari sensasi, mungkin hanya dia dan sang istri yang tahu arti dibalik semua ini.Â
Dibalik semua ini
Sore ini terasa sepi bagi pak Dul, walau ratusan pejalan kaki sibuk dengan urusan mereka sendiri. Pak Dul masih menerawang sambil berdiri, berharap ada orang tua yang bisa di salami. Pikiran Pak Dul serasa melayang, melamun membayangkan masa tiga tahun silam. Dimana kebiasaan berbagi ini dimulai, kebiasaan baik yang dimulai dengan hal yang menyayat hati. Sebuah kebencian besar muncul lewat tragedi di bulan yang suci ini.Â
Bersambung...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H