Bagi anak-anak bulan ramadhan adalah waktu yang sangat mengasyikkan. Selain karena jam sekolah yang berkurang malah libur di jaman saya dulu SD, di bulan puasa semakin banyak kesempatan kita untuk bertemu teman sejawat. Seperti saat taraweh, tadarus, sekolah diniyah sore, buka bersama di masjid. Dimana ujung-ujungnya semakin banyak kita bermain bersama.
Banyak permainan yang dulu kita lakukan saat bulan puasa misalnya mainan petasan, petak umpet, layangan dan lain sebagainya. Banyak sekali hal berkesan saat kecil dulu, namun yang paling berkesan adalah mengikuti pesantren kilat di sebuah pondok pesantren.
Saat kelas lima sd saya mengikuti pesantren kilat di pondok Jenes daerah Ponorogo. Selama 20 hari saya menjadi santri kilatan dan ikut mengaji serta mengkaji beberapa kitab. Berbeda dengan santri asli yang mengaji kitab gundul menggunakan pena tintanya. Kami santri kilatan menggunakan kitab cetakan yang sudah full dengan maknanya, sehingga kita tinggal membacanya bagi yang bisa tentunya. Karena makna yang ada di kitab kami menggunakan tulisan pegon yaitu tulisan arab tapi isinya bahasa jawa.
Saya tak sendirian mengikuti pesantren kilat saat itu, ada setidaknya sekitar 40-an anak dari berbagai daerah menjadi santri kilatan. Bahkan saat itu ada yang dari Sumatera kalau tidak salah namanya Bogon Siapiapi, entah tulisan nama yang benar bagaimana tapi itulah namanya.
Kami santri kilat ini dibagi menjadi enam kamar, dimana setiap kamar ada Kakak pendampingnya yang merupakan santri senior di pondok tersebut.Â
Dalam proses mengaji kami juga dibagi menjadi dua kelas, satu kelas pemula (belum lancar ngaji) yang satu kelas lanjutan. Dulu mungkin disebut kelas A dan B kalau tidak salah.
Nah berikut hal-hal yang sangat berkesan saat dulu mengikuti pesantren kilat:
Pertama, buka dan sahur bersama. Saat itu kami dibagi menjadi tiga kelompok, dimana setiap kelompok yang berjumlah 12an anak makan di satu rumah.Â
Rumah tersebut masih di lingkungan pondok dan masih kerabat dengan Pak Kyai di pondok. Saat itulah saya pertama kali merasakan enaknya makan bersama setiap hari, walau lauknya seadanya namun dengan makan bersama semua menjadi lebih nikmat.
Kedua, wc yang sangat jauh dan menyeramkan. Wc pondok memang jauh adanya, jika mau BAB kita harus berjalan di belakang pondok sampai ke pinggiran sungai. Jalan tersebut masihlah jalan setapak yanh disampingnya hanya ada pohon dan bambu yang menemani. Tak ada lampu di sepanjang jalan, hanya ada lampu redup yang menyapa kita di wc yang letaknya pas di atas sungai. Gara-gara horornya akses ke wc, saat itu saya tahan 3 hari gakÂ
BAB mungkin karena saking takutnya. Hehehe
Ketiga, ketiduran saat pengajian. Kalau tidak salah sehari ada lima kali pengajian yang harus kami ikuti saat pesantren kilat mulai kelas pagi abis subuh, jam 8an, setelah dhuhur, setelah ashar dan terakhir setelah taraweh. Cukup padat memang bagi kami yang masih sd saat itu, sehingga tak heran sering ada yang ketiduran saat Pak Ustad memberikan tausiah dan pengajiannya, termasuk saya. Untung tak dimarahi saat itu.
Keempat, tragedi kebakaran pasar. Langit berwarna orange saat akan berbuka. Namun sore itu ada yang berbeda, selain warna langit yang lebih terang dari biasanya ada kepulan asap hitam membumbung di angkasa. Kami satu pondok tak tahu apa yang terjadi, ternyata saat itu ada kebakaran hebat yang melumat Pasar Legi Ponorogo. Semoga mereka yang jadi korban diberikan kesabaran.
Kelima, jalan-jalan ke alon-alon di malam terakhir pesantren kilat. Setelah melewati 20 hari pesantren kilat akhirnya kami diberi liburan di malam terakhir sebelum boyongan pulang. Malam itu kami diajak berkeliling ke alon-alon Ponorogo yang memang sangat ramai saat bulan puasa dan lebaran. Banyak penjual makanan, baju-baju, aneka wahana permainan dan sebagainya.