Mobil merah mungil itu terhenti di parkiran dengan lokasi yang selalu sama. Seperti biasa, seorang bapak turun menyiapkan tas dan jilbab si gadis istimewa yang hingga tahun ketiga ia sekolah di sini, masih sulit keluar dari mobilnya dengan suka rela.
Kadang ia harus ditarik keluar dengan susah payah, kadang penuh dengan rayuan permainan, bahkan terkadang harus ada dua guru yang diinginkan untuk bisa mengajak si gadis istimewa itu keluar dari mobil dan mau masuk ke kelas.
Setiap kali mobil merah mungil itu datang aku selalu bertanya,
"Apakah si istimewa akan segera turun?"
"Siapakah yang mampu membuatnya tersenyum dan suka rela keluar dari mobilnya?"
"Bagaimana cara menarik perhatianya?"
"Kalimat pembuka apa yang tepat untuk mengajaknya keluar mobil?"
"Di mana pendampingnya yang biasa menyambutnya?"
"Apakah kali ini aku juga bisa sabar untuk merayunya?"
Dan teramat banyak pertanyaan yang selalu hadir di kepalaku.
Ketika si bapak keluar, beliau beranjak dan terhenti sejenak. Mengamati buah kapuk yang telah pecah. Aku melihat ada secercah cahaya dalam pikirannya. Dengan senyum cerah, beliau kembali menuju mobil merah mungilnya dan membuka pintu.
"Hei, lihat ini! Ini bisa terbang! Bagus kan?"
Kata si bapak sambil meniup buah kapuk di ujung jari telunjuk dan jari jempolnya.
Aku hanya mengamati dari jauh dan mengejutkan!
Tak berapa lama si gadis istimewa keluar dari mobil merah mungil itu. Matanya berbinar, bibirnya tersenyum lebar, dan ia mengikuti gaya sang bapak, meniup kapuk, kemudian tertawa lebar!
Sungguh, pagi ini begitu indah ... energi bahagia itu serasa menjalar ke semua urat bahagiaku, dari kepala hingga kaki. Aku merasa bahagia ... sangat bahagia! Sebuah peristiwa yang menyejukkan hati, menenteramkan jiwa.
Dengan penuh kasih sayang, si bapak menggandeng si gadis istimewa melintas menuju pintu gerbang.
"Mau diantar sampai sini atau ke kelas?", tanyaku.
"Ke kelaaaas!", jawabnya.
"Permisi ya ustadzah, kami masuk dulu!", sahut si bapak.
Pemandangan yang luar biasa pagi ini semoga menjadi keberkahan untuk kami semua.
Jiwa-jiwa yang diberi amanah sebagai guru, sumber ilmu, dan tentu sumber kasih sayang sebagai pengganti ayah dan bunda di rumah.
Si bapak masih sabar menunggu di bangku ruang makan dengan senyum tulusnya.
"Maaf ust, saya menunggu dia tenang dulu", tutur si bapak lembut.
Aku tidak mampu mengucapkan kalimat apapun, hanya membalas dengan senyuman. Segera aku menyapa si gadis istimewa dengan candaan. Dia tersenyum dan membalas candaanku dengan menjejakkan kakinya.
"Andai aku punya kesabaran tak berbatas, dan ikhlas tak berbalas seperti di bapak dalam pandanganku. Maka hidup ini akan menjadi akhirat pertama yang sungguh menyenangkan".
Terima kasih Rabb ...
Terima kasih bapak dan si gadis istimewa
Kalian adalah guru terbaik hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H