TAKUT BOLEH, BERANI SILAKAN, Â TETAPI JANGAN LEBAY!
Tiada hari tanpa berita Covid-19. Begitulah realitas kehidupan masyarakat setahun belakangan ini. Covid-19 seolah-olah mengungkung kita dari segala arah : depan, belakang, kiri, kanan, atas, dan bawah. Â Kita menjadi terpenjara gara-gara virus asal Wuhan ini. Mau keluar rumah takut tertular, tetap di rumah saja lama-lama bosan juga. Akhirnya terpaksa bekerja dari rumah, belajar di rumah, dan beribadah pun di rumah pula. Covid-19 berhasil mengubah kebiasaan kita seratus delapan puluh derajat.
Setiap hari kita menerima berita ada saudara, tetangga atau teman yang terpapar dan meninggal karena Covid-19. Berita tersebut menyebar cepat lewat Whatsapp, Facebook, dan sebagainya. Jika kita mendengar ada saudara, tetangga atau teman yang meninggal, alam bawah sadar kita (seolah-olah) berucap : "jangan-jangan meninggalnya karena Covid." Semua penyakit (bergejala ringan hingga berat) atau kematian seseorang seringkali dikaitkan dengan Covid-19. Istilah populernya "dicovidkan."
Gegara Covid-19 masyarakat pun terbelah ke dalam dua kubu antara yang yang percaya Covid itu murni penyakit dan yang percaya Covid itu rekayasa sekelompok manusia yang punya kepentingan tertentu. Beragam spekulasi beredar sejak awal pandemi. Informasi yang keliru, bahkan hoaks, pun bertebaran.
Teori konspirasi pun bermunculan, ditambah lagi dengan menguatnya ketegangan hubungan diplomatik antara China dan sejumlah negara, salah satunya Amerika Serikat. Pertanyaan krusialnya adalah bagaimana virus Corona  itu pada akhirnya bisa masuk ke tubuh manusia. Dugaan awalnya, virus itu berasal dari kelelawar, lalu menulari manusia. Tetapi kemudian para ilmuwan menduga virus itu berpindah dari mamalia bersayap ke spesies lain sebelum akhirnya sampai ke manusia.
Selain teori hewan sebagai penyebar virus, ada juga kecurigaan virus itu sebenarnya hasil rekayasa buatan manusia di laboratorium biologi rahasia di Wuhan yang kemudian bocor. Dugaan atau tuduhan itu menyebar cepat melalui daring.
Ada juga sebagian orang yang menolak kehadiran Covid-19 karena alasan ideologis beraroma konspirasi. Menurut mereka pandemi Covid-19 adalah rekayasa atau skenario "musuh" Islam untuk menjauhkan umat dari agamanya, seperti penutupan masjid dan musholla. Meskipun boleh sholat di masjid mengapa  harus menjaga jarak antarjamaah, padahal perintah agama adalah jamaah harus merapatkan shaf. Di sisi lain, kenapa pasar dan mal kok tetap dibuka? Begitu kira-kira "ketidakmengertian" mereka atas kebijakan Pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19.
Pandemi Covid-19 berhasil menghipnotis dan  membius psikologi manusia menjadi penakut serta paranoid. Akibat pandemi yang belum diketahui kapan berakhir ini bisa menimbulkan masalah kesehatan mental  yang berkepanjangan, bahkan lebih lama dari pandemi itu sendiri. Di Inggris, kelompok spesialis kesehatan masyarakat memperingatkan dalam British Medical Journal bahwa dampak pandemi terhadap kesehatan mental kemungkinan akan bertahan lebih lama daripada dampak kesehatan fisik.
Gejala gangguan kesehatan mental yang muncul antara lain cemas yang berlebihan, merasa tak nyaman ketika melihat gambar sel virus Corona, waspada dengan kebersihan alat makan, stres terlalu lama dikarantina, dan  ketakutan saat naik transportasi umum (berkerumun). Kehilangan pekerjaan dan kesulitan finansial juga dikaitkan dengan penurunan kesehatan mental yang berkepanjangan.
Munculnya varian virus Delta yang lebih berbahaya daripada virus Corona membuat kecemasan dan ketakutan akan tertular semakin meningkat. Apalagi berita jumlah kasus positif Covid-19 yang meningkat cukup signifikan semakin "meneror" masyarakat dari hari ke hari. Anjuran untuk stay at home bagai makan buah simalakama. Situasi dilematis ini terutama dirasakan oleh mereka dari kalangan menengah ke bawah. Karena alasan demi kepentingan perut akhirnya banyak dari mereka yang terpaksa mbalelo terhadap anjuran tersebut. Demi tuntutan ekonomi mereka berani menghadapi resiko tertular daripada mati kelaparan di rumah.
Meskipun berita kasus positf dan meninggal karena Covid-19 semakin banyak, tetapi bagi sebagian orang tidak berpengaruh sama sekali. Mereka ngeyel dan tidak percaya adanya Covid. Respon ngeyel ditunjukkan oleh beberapa orang lewat Youtube dan akhirnya viral. Misalnya, di Surabaya ada seorang pria, yang mengaku seniman, menantang berani menyedot virus Corona dari tubuh pasien. Sedangkan seorang tukang tambal ban  di Kuningan Jawa Barat berani menantang  memegang tubuh pasien Covid yang meninggal. Untuk kasus kedua ini akhirnya pelaku diamankan polisi. Â
Kengeyelan lainnya  juga ditunjukkan oleh pejabat publik yang notabene berpendidikan lebih tinggi. Misalnya, tahun lalu seorang walikota di Sumatera Selatan  membebaskan warganya untuk tidak bermasker dan sekolah tetap dibuka. Pejabat ini berargumen apakah kalau sekolah diliburkan, virus Corona bisa hilang? Ada juga bupati di Jawa Tengah yang membolehkan warganya mengadakan hajatan. Alasannya, daripada hajatan diam-diam yang tidak ada pengawasan aparat yang bisa menimbulkan bahaya yang lebih besar. Â
Covid-19 kini menjadi momok menakutkan manusia di dunia. Sekitar 185,3 juta jiwa telah terpapar, 169,7 juta yang sembuh, dan 4 juta meninggal dunia. Di Indonesia ada 2,3 juta orang terkonfirmasi positif Covid, 62 ribu meninggal dunia, dan 1,97 juta yang sembuh. Ibarat puncak gunung es, sangat boleh jadi jumlah yang sesungguhnya yang terpapar dan meninggal akibat Covid-19 jauh lebih besar dari angka resmi tersebut. Membaca data tersebut mestinya tidak ada lagi orang yang bersikap cuek dengan keberadaan Covid-19.
Data kasus Covid di atas tidak bisa dibaca sebatas angka statistik semata. Ratusan juta jiwa terpapar dan jutaan lainnya meninggal dunia bukanlah jumlah yang sedikit. Ini menyangkut masalah (nyawa) manusia dan kemanusiaan. Kita sebagai manusia punya hak yang mendasar, yaitu hak untuk hidup. Jangan gara-gara sikap masa bodoh kita dengan Covid-19 menjadi wasilah meninggalnya orang lain. Jangan ada lagi perilaku yang cuek dengan protokol kesehatan (mencuci tangan dengan disinfektan, memakai masker, dan menjaga jarak). Tepat sekali slogan "Maskerku melindungimu dan maskermu melindungiku." Tugas kita berikhtiar, berdoa, dan bertawakkal.. Hasil akhirnya kita serahkan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Takut dengan Covid itu wajar, berani silakan, tetapi jangan lebay. Stay safe, stay healthy!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H