Boleh  jadi  kondisi  yang  saya  paparkan  di  atas  menimbulkan  respon yang beragam, ada yang pro dan kontra. Bagi kalangan feminis apa yang saya gambarkan tersebut  bisa  jadi  mereka  langsung menyatakan ketidaksetujuannya, bahkan protes. Apalagi bagi penganut feminisme radikal yang beranggapan  bahwa  faktor  utama  penyebab  pembagian  kerja secara seksual adalah sistem patriarkhal di mana laki-laki mengendalikan perempuan dengan kekuasaan.
Menurut  kelompok  feminis  radikal,  mengikuti  teori  Fristone  dalam  bukunya  Dialectic of Sex,  sumber  dari  kelemahan  perempuan  ada pada struktur biologinya. Â
Perempuan  sepanjang  sejarah,  sebelum  alat-alat kontrasepsi ditemukan, menjadi mangsa dari fungsi biologis badannya; harus mendapatkan  haid,  menopause, dan  macam-macam  penyakit  perempuan  lainnya, seperti rasa sakit ketika melahirkan, harus mengasuh anak, dan sebagainya. Semua faktor ini membuat perempuan tergantung kepada laki-laki.
Beda  lagi  dengan  pandangan  feminisme  liberal  yang berangkat dari dasar filosofi liberalisme. Kelompok ini berpendapat bahwa semua orang diciptakan  dengan hak-hak  yang  sama,  dan  setiap  orang  harus  mempunyai  kesempatan  yang  sama  untuk  memajukan  dirinya.  Gerakan  ini beranggapan  bahwa  sistem patriarkhal dapat dihancurkan dengan cara  mengubah sikap masing-masing individu, terutama sikap perempuan dalam hubungannya  dengan  laki-laki.  Perempuan harus  sadar  dan  menuntut  hak-hak  ini.  Tuntunan  ini  akan  menyadarkan  kaum  laki-laki, dan kalau kesadaran  ini  sudah  merata,  maka  dengan  kesadaran baru  ini, manusia akan membentuk suatu masyarakat baru di mana laki-laki dan perempuan bekerja sama atas dasar kesetaraan.
Gerakan feminisme berikutnya adalah feminisme Marxis. Sebagai reaksi terhadap pemikiran feminisme liberal, feminisme Marxis berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami oleh perempuan bukan disebabkan oelh tindakan individu secara sengaja tetapi akibat dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem kapitalisme. Menurut mereka, tidak mungkin perempuan dapat memperoleh kesempatan yang sama seperti laki-laki jika mereka masih tetap hidup dalam masyarakat yang berkelas.
Berikutnya  adalah  gerakan  feminisme  sosialis. Gerakan ini merupakan sintesis antara feminisme Marxis dan feminisme radikal. Asumsi yang digunakan feminisme sosialis  adalah  bahwa hidup dalam masyarakat kapitalistik bukan satu-satunya penyebab utama keterbelakangan perempuan.  Selain  di  negara-negara  kapitalis, di  negara-negara  sosialis  kaum  perempuan  juga  terjun  dalam  pasaran tenaga kerja dan sebagian besar secara ekonomi  sudah  mandiri.  Namun,  dalam kenyataannya  mereka  masih  hidup  dalam  kungkungan  sistem  patriarkhi.  Menurut mereka, penindasan perempuan  ada  di  kelas  mana  pun.  Mereka  menolak Marxis  klasik,  dan  tidak  menganggap  eksploitasi  ekonomi  sebagai  lebih  esensial daripada penindasan gender.
Pada pertengahan kedua abad ke-20, ketika kaum perempuan kelas atas dan menengah telah memiliki akses sepenuhnya pada kehidupan publik dan telah berintegrasi dengan masyarakat luas, maka para feminis muslimah mulai menulis tentang peran gender dan hubungannya dengan  keluarga dan  masyarakat. Mereka  menulis  tema-tema  yang  menyangkut  kekerasan  seksual  terhadap  perempuan,  eksploitasi  perempuan,  misogini,  dan tentang sistem patriarkhi itu sendiri.Â
Di antara para feminis muslim kontemporer yang mempersoalkan historisitas ajaran Islam adalah Ashgar Ali Engineer, Riffat Hasan, dan Amina Wadud Muhsin. Dalam pandangan mereka Al-Qur'an tidak melihat inferioritas perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki  dan  perempuan, menurut mereka, setara dalam pandangan Allah SWT. Hanya para mufasirlah -- yang hampir  semuanya  laki-laki --  yang  menafsirkan  ayat-ayat  Al-Qur'an  secara  tidak  tepat.  Di  antara  ayat-ayat  yang  penafsirannya  mereka  persoalkan  adalah  ayat-ayat   tentang  penciptaan   perempuan, kepemimpinan rumah tangga, kesaksian, dan kewarisan perempuan (Ilyas, 2015: 21-30)
Udah ah, kok jadi melantur ke mana-mana. Kita kembali ke laptop, eh..ke topik di atas.  Jadi,  intinya secara pribadi penulis lebih sepakat dengan konsep "berbagi peran" daripada "bertukar peran'  antara  suami  dan  istri. Terlepas dari  beragam  konsep  dan  teori  tentang feminisme  yang sudah dipaparkan di atas, penulis setuju bahwa harus terciptanya kesetaraan (baca : keadilan) antara laki-laki dan perempuan.  Tentunya  konsep kesetaraan gender  yang  dimaksud  bukanlah kedudukan  laki-laki  dan  perempuan  harus  "disamakan"  di  semua  bidang  kehidupan.  Keduanya  memiliki karakateristik yang khas yang tidak bisa dipertukarkan satu sama lain. Misalnya, perempuan dikodratkan mengalami menstruasi  dan bisa hamil serta melahirkan.
Perempuan bukanlah makhluk yang (hanya) indah dipandang manakala berada di "sangkar madu."  Laki-laki juga tidak selamanya harus berada "di atas" perempuan,  meskipun  ayat Al-Qur'an  menegaskan bahwa kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum  perempuan  (ar-rijaalu qawwaamuuna 'alannisaa) seperti tercantum dalam surat An-Nisaa ayat 34. Â
Namun,  Al-Qur'an  juga  mengonfirmasi  bahwa  lelaki  dengan  perempuan  itu setara. Allah Subhanahu wata'ala berfirman : "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan  dalam  keadaan  beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baikdan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl [16]: 97). Hal yang sama ljuga ditegaskan di surat An-Nisaa ayat 124 dan Ali Imran ayat 195.